Pertanyaannya, siapa yang berani menembak polisi dari jarak dekat? Tak lain adalah orang-orang terlatih dan orang-orang yang sudah terbiasa berada di lingkungan aparat keamanan. IPW menilai, antara penembakan polisi di Solo dan penyergapan polisi di Solo adalah dua hal yang berbeda.
Pola penyerangan yang dilakukan pihak tertentu terhadap polisi di lapangan perlu dicermati Polri secara jernih agar polisi di lapisan bawah tidak menjadi korban. Penembakan polisi di Solo tidak dilakukan teroris seperti yang diklaim polisi, sebab banyak hal sangat berbeda dan sangat signifikan.
Hal tersebut dikatakan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, dalam rilis yang diterima gresnews.com, (4/9). "Pelaku menembak polisi dengan jarak dekat dengan senjata yang menurut polisi adalah FN. Fakta yang ada selama ini, teroris selalu menyerang targetnya dengan jarak jauh memakai remot kontrol atau telepon seluler. Kalau pun ada serangan jarak dekat, hanya aksi bom bunuh diri," jelas Neta.
Menurutnya, perbedaan ini sangat signifikan. Pertanyaannya, siapa yang berani menembak polisi dari jarak dekat? Tak lain adalah orang-orang terlatih dan orang-orang yang sudah terbiasa berada di lingkungan aparat keamanan. IPW menilai, antara penembakan polisi di Solo dan penyergapan polisi di Solo adalah dua hal yang berbeda.
Target penembakan terhadap polisi, sambungnya karena dua hal. Pertama, akumulasi kekesalan terhadap sikap, perilaku dan kinerja polisi. Kedua, memperburuk citra Polri agar terjadi krisis kepercayaan pada Polri sehingga muncul opini, untuk melindungi dirinya saja Polri tidak mampu, bagaimana pula untuk melindungi masyarakat.
"Opini ini penting untuk mengegolkan RUU Keamanan Nasional. Esensi keberadaan RUU Kamnas adalah mengkebiri dan mengkerdilkan peran Polri dalam sistem keamanan di negeri ini," tambah Neta.
IPW berharap, Polri tidak terjebak dengan stigma ala Orde Baru, yakni jika terjadi masalah langsung main tuding PKI dan komunis. Kini stigmanya diubah, jika terjadi masalah langsung main tuding, teroris dan Islam radikal.
Hal tersebut dikatakan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, dalam rilis yang diterima gresnews.com, (4/9). "Pelaku menembak polisi dengan jarak dekat dengan senjata yang menurut polisi adalah FN. Fakta yang ada selama ini, teroris selalu menyerang targetnya dengan jarak jauh memakai remot kontrol atau telepon seluler. Kalau pun ada serangan jarak dekat, hanya aksi bom bunuh diri," jelas Neta.
Menurutnya, perbedaan ini sangat signifikan. Pertanyaannya, siapa yang berani menembak polisi dari jarak dekat? Tak lain adalah orang-orang terlatih dan orang-orang yang sudah terbiasa berada di lingkungan aparat keamanan. IPW menilai, antara penembakan polisi di Solo dan penyergapan polisi di Solo adalah dua hal yang berbeda.
Target penembakan terhadap polisi, sambungnya karena dua hal. Pertama, akumulasi kekesalan terhadap sikap, perilaku dan kinerja polisi. Kedua, memperburuk citra Polri agar terjadi krisis kepercayaan pada Polri sehingga muncul opini, untuk melindungi dirinya saja Polri tidak mampu, bagaimana pula untuk melindungi masyarakat.
"Opini ini penting untuk mengegolkan RUU Keamanan Nasional. Esensi keberadaan RUU Kamnas adalah mengkebiri dan mengkerdilkan peran Polri dalam sistem keamanan di negeri ini," tambah Neta.
IPW berharap, Polri tidak terjebak dengan stigma ala Orde Baru, yakni jika terjadi masalah langsung main tuding PKI dan komunis. Kini stigmanya diubah, jika terjadi masalah langsung main tuding, teroris dan Islam radikal.
KOMENTAR