Wednesday, 21 December 2011

Polri "Terjun Bebas" dari Posisi sebagai Abdi Negara

Kamis, 22 Desember 2011 Kinerja (performance) Kepolisian RI (Polri) masih memprihatinkan. Beberapa peristiwa atau kasus malah menampar wajah Polri karena telah menempatkan Polri di posisi tak semestinya. Tahun 2011 Polri memang masih diwarnai keberhasilan menelusuri dan mengungkap jaringan terorisme. Beberapa kasus telah dibawa ke meja persidangan dan aktor-aktornya telah pula dipenjarakan-meski masih ada yang dalam proses penyelesaian. Namun, Polri pada tahun 2011 masih tercatat menunjukkan sikap tidak profesional, tidak independen, dan tidak berdaya menghadapi pemilik modal atau kekuasaan. Pada tahun 2011 Polri seakan-akan terjun bebas dari pengabdi negara menjadi sekadar "centeng". Aksi-aksi Polri dalam kasus yang berhadapan langsung dengan masyarakat di kawasan pertambangan dan perkebunan justru mengenaskan, terutama karena dalam kasus-kasus itu Polri kembali tidak menunjukkan sikap independensinya. Sebaliknya, Polri malah mempertontonkan sikap keberpihakannya kepada para pemilik modal alias diperalat perusahaan besar ketimbang memihak rakyat. Sikap ini sekaligus menunjukkan bahwa Polri belum profesional. Polri seakan-akan terjun bebas dari posisi abdi negara menjadi sekadar "centeng". Bahkan, dalam menjalankan tugas "centeng"-nya, Polri berani bertindak "brutal" bak koboi, baik aksi main tembak maupun aksi salah tembak. Mirisnya, aksi koboi anggota polisi itu telah memakan korban yang tidak sedikit bahkan banyak. Lebih memiriskan lagi, polisi bukan hanya tidak menunjukkan empati kepada para korban, tapi juga tidak memperlihatkan sikap penyesalan dan tanggung jawabnya. Aksi Koboi Indonesia Police Watch (IPW) mencatat, selama 2011 ada 15 orang tewas dan 67 orang luka tembak akibat aksi "koboi" dan kesewenang-wenangan Polri. Aksi koboi itu berupa aksi main tembak dan aksi salah tembak. Polri main tembak saat berhadapan dengan warga yang tengah memperjuangkan hak-haknya, terakhir dalam sengketa dengan pengusaha tambang dan perkebunan. Sementara aksi salah tembak terjadi saat polisi sedang mengejar pelaku kriminal hingga orang tak berdosa menjadi korban. Pada 22 Agustus, misalnya, polisi menembaki kapal yang ditumpangi massa demonstran yang menuntut PT Medco memenuhi hak-hak warga atas pengeboran minyak di Pulau Tiaka. Akibat penembakan itu, dua warga tewas, yakni Ateng tewas di tempat dan Turifin meninggal di RS Luwuk. Satu orang, Andri, mengalami luka tembak di dada kanan. Insiden serupa terjadi di Sumatera Utara (Sumut), 29 Mei lalu. Seorang perempuan berusia 19 tahun ditembak polisi dalam aksi unjuk rasa menolak beroperasinya PT Sorik Mas Mining (SMM) di kawasan hutan Taman Nasional Batang Gadis, Sumut. Belum lagi catatan dari kasus Mesuji. Sementara itu, di Sumenep, Mohammad Ridwan, Wakil Ketua DPD Partai Golkar Sumenep, tewas akibat peluru nyasar polisi yang tengah melakukan penyergapan tersangka pelaku pencurian motor di area alun-alun Kota Sumenep. Dan, seorang bernama Muhammad Dermawan tewas tertembak Briptu Vico Panjaitan yang bercanda mengarahkan laras panjangnya ke korban, tetapi tiba-tiba senjata meletus. Pengakuan Polri yang menerima sejumlah uang atau bayaran dari PT Freeport Indonesia jelas menempatkan Polri pada posisi sebagai centeng. Meski secara institusi Polri menolak menerima bayaran, tapi sulit dimengerti Polri membiarkan, malah menyetujui praktik serupa itu. Dengan dalih menjaga objek vital, Polri tidak seharusnya merendahkan dirinya sendiri. Apalagi, untuk itu, polisi cenderung bersikap represif terhadap rakyat yang seharusnya mendapat perlindungannya. "Uang membutakan mata hati mereka, membuat mereka tidak independen, dan uang telah memperalat polisi untuk memusuhi rakyatnya. Ini bahaya karena mereka telah merendahkan martabatnya," kata Neta S Pane, Ketua Presidium IPW. Bagian Masalah Kasus tindak kekerasan di Mesuji Sumatera Selatan dan Mesuji Lampung yang muncul belakangan menambah panjang daftar catatan Polri yang tidak independen dan tidak profesional. Bukannya membantu menyelesaikan masalah, malah Polri menjadi bagian masalah. Sejumlah korban penembakan bukan hanya tidak mendapat bantuan, tapi juga polisi kerap tidak menunjukkan sikap penyesalan dan tanggung jawab. Polri masih melindungi anggotanya yang nyata-nyata bersalah. Tindakan yang diambil kadang cuma sekadar peringatan atau memindahtugaskan-sesuatu yang dapat dinilai mencederai keadilan publik. Di luar kasus di kawasan pertambangan dan perkebunan, Polri juga mendapat citra buruk dalam penanganan kasus perburuan Nunun Nurbaeti dan kasus aksi koboi Komisaris Jenderal MSY, mantan Kapolda Metro Jaya. Selain itu, kasus perilaku anggota polisi yang labil atau mengalami depresi juga menambah panjang daftar "pekerjaan ruma" yang sudah harus segera dibenahi. Di beberapa tempat, anggota Polri menembak anggota keluarganya. Di Tasik, April lalu, Aiptu Endang Budi menembak Aidah, istri yang dinikahinya secara siri. Kartini Indah Hajrah juga menjadi korban tembak suaminya yang anggota Polsek Passirmarunnu, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Belum lagi kasus Wakapolsek Jatinom, Klaten, yang menewaskan ayahnya dan melukai keluarganya akibat depresi atau kisah rekayasa pemerkosaan istri Kanit di Depok. Sementara itu, perburuan terhadap Nunun Nurbaeti, tersangka kasus cek pelawat, sebelumnya tak kunjung tersentuh, sampai KPK menengarai adanya orang kuat di belakangnya. Berbeda dengan perburuan polisi terhadap mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin. Penanganan kasus Raafi yang berputar-putar juga menunjukkan karakter polisi yang tidak profesional. Polisi seakan-akan tak berdaya ketika berhadapan dengan orang-orang yang memiliki uang atau kekuasaan. Belum lagi wajah polisi di jalanan. Praktik-praktik "damai" masih saja mengecewakan. Sikap dan berbagai kasus kepolisian itu seakan-akan tak berbanding lurus dengan pemberian remunerasi di institusi baju cokelat. Remunerasi seakan-akan tak berhubungan dengan kinerja Polri. Namun, perlu dicatat, tahun 2011 Polri juga mengalami peristiwa mengenaskan dan perlu mendapat simpati. Sejumlah anggotanya tewas dibunuh orang tak dikenal. Di Papua, ancaman itu bahkan masih mengintai. Apa pun keadaannya, kinerja Polri tahun 2011 tersebut memerlukan kesungguhan penanganan dan pembenahan. Polri harus segera mulai mengawali perbaikan dan pembenahan itu dari rekrutmen dan pendidikan kepolisian. Menurut pengamat kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, rekrutmen dan penempatan harus didasarkan pada hal-hal objektif dan rasional, dan bukan atas pertimbangan like and dislike. "Jadi, menempatkan orang di polsek, polres atau polda itu bukan karena dia pernah menjadi anak buah, penurut, pernah membantu atau karena dekat. Tapi, harus benar-benar karena track record," kata dia. Soal pendidikan, Bambang menegaskan, "Pendidikannya harus mengajarkan sikap terbuka, dialogis, jujur, tidak berorientasi melulu uang," katanya. Sementara itu, Neta Pane mempertanyakan masa pendidikan Sekolah Kepolisian Negara (SPN) yang hanya tiga bulan (versi polisi lima bulan). Sebab, masa selama itu bukan hanya tidak cukup, tapi berakibat fatal karena bisa menjadi monster. "Untuk kursus salon saja sampai enam bulan," ujar Neta. (Hanif S) http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=293539

No comments:

Post a Comment