KBR68H - Institusi kepolisian mendapat sorotan tajam menyusul terjadinya berbagai kasus kekerasan terhadap warga sipil yang dilakukan aparat Brimob. Polisi kerap menjadi satpamnya perusahaan dan penguasa, ketimbang satpamnya masyarakat. Banyak kalangan yang menilai reformasi ke kepolisian gagal. Neta S Pane dari Indonesia Police Watch menjelaskannya dalam wawancara berikut ini
Brimob banyak disorot karena banyak melakukan kekerasan. Tapi catatan anda apakah memang merata yang melakukan kekerasan?
Jadi menurut data Indonesia Police Watch selama 2011 ini ada 96 orang yang ditembak oleh polisi, 18 diantaranya tewas. Di dalam penembakan itu ada dua kategori, pertama aksi main tembak dan kedua aksi salah tembak. Sebagian besar ini, penembakan terjadi di perkebunan dan pertambangan, itu sebagian besar dilakukan teman-teman Brimob. Di sini menunjukan bahwa penempatan Brimob dalam menghadapi konflik di masyarakat, ini sebetulnya harus dievaluasi bahkan kita mengusulkan kalau bisa seharusnya Brimob itu sudah tidak ada, Brimob harus dibubarkan. Kenapa, karena sejarah lahirnya Brimob ini adalah polisi yang dilatih secara militer, polisi yang dibentuk secara militer untuk membantu militer dalam menghadapi Belanda di awal-awal revolusi 45 untuk menghadapi Belanda yang mau masuk lagi ke Indonesia, sehingga latar belakang mereka sangat represif. Sekarang setelah reformasi, konsep polisi itu polisi sipil yang profesional. Jadi keberadaan Brimob dalam konsep polisi sipil yang profesional ini sangat tidak tepat, terbukti belakangan ini banyak sekali konflik yang terjadi antara masyarakat dengan Brimob.
Jadi Brimob saat ini cuma jadi alat kekerasan oleh penguasa atau perusahaan yang bisa dekat?
Iya. Jadi akibat sikap represif mereka, mereka cenderung dimanfaatkan, cenderung dijadikan centeng oleh perusahaan-perusahaan perkebunan atau pertambangan dalam memukul masyarakat yang mencoba memprotes untuk mempertahankan hak-hak mereka. Apalagi terjadi kesahan yang fatal juga seperti di Freeport, itu penempatan Brimob di sana empat bulan, ini jadi permanen mereka sehingga mereka menjadi seperti satpamnya Freeport, bukan satpamnya rakyat. Seharusnya polisi diturunkan ke suatu tempat kalau ada masalah untuk ditengahi oleh polisi, kalaupun tidak ada masalah antisipasi dini atau deteksi dini itu dilakukan intelijen maupun Bimas. Ini kesalahan prosedur yang sangat fatal, bahwa polisi ditempatkan di sana selama berbulan-bulan sehingga polisi sulit membedakan apakah dia polisi rakyat atau polisi Freeport, inilah suatu kesalahan fatal dari konsep penempatan polisi di perusahaan-perusahaan besar itu.
Kalau selain Brimob, catatan kekerasan yang dilakukan oleh satuan polisi lainnya bagaimana?
Kalau dari aksi-aksi penembakan ini, kita berkaca dari aksi penembakan ini Brimob yang terbesar, kemudian Reserse. Reserse ketika mereka mengejar penjahat, seharusnya mereka menembak penjahat justru tembakan itu kena orang lain, bahkan ada pengurus mesjid yang sedang ambil wudhu tertembak, dia tidak tahu apa-apa dia sedang ambil wudhu polisi mengejar penjahat kena dia. Jadi golongan kedua yang paling banyak melakukan penembakan itu adalah Reserse.
Kalau kita bicara persentase, berapa besar sebenarnya persentase Brimob melakukan penembakan dibandingkan satuan polisi yang lainnya?
Kalau dari data yang saya paparkan tadi itu, mencapai 70 persen. Bahkan bisa dikatakan setiap ada konflik, ada permasalahan antara masyarakat dengan masyarakat atau antara masyarakat dengan perusahaan selalu diturunkan Brimob dan itu selalu konflik. Tapi kalau di kota-kota besar, ketika ada aksi demo kemudian yang diturunkan adalah Sabara atau Polwan atau Dalmas itu cenderung konfliknya tidak tajam, tidak melebar. Jadi penempatan Brimob dalam mengatasi aksi massa ini memang harus dievaluasi dan kita mengusulkan sebaiknya Brimob dibubarkan saja.
Kalau soal tembakan-tembakan yang dilakukan polisi, mereka selalu beralasan sudah sesuai Protap dan sebagainya. Apakah ada catatan khusus soal Protap-protap yang selama ini ada di polisi?
Jadi polisi mengatakan penembakan di Bima itu sudah sesuai dengan Protap, sesuai dengan SOP, penembakan di Mesuji juga begitu, itu bohong besar Mabes Polri. Karena dalam SOP itu sudah jelas ada ketentuan yang harus diikuti, pertama polisi itu harus ada pasukan tamengnya, ada pasukan gas air mata, ada water canon, ada peluru hampa, ada peluru karet. Di Mesuji maupun Bima, itu tidak ada water canon, tidak ada gas air mata, bagaimana Mabes Polri bisa mengatakan ini sudah sesuai Protap. Ini suatu kebohongan yang ditampilkan oleh Mabes Polri untuk membela diri mereka sendiri, untuk membenarkan apa-apa yang dilakukan oleh anak buahnya di lapangan secara represif. Kalau ini terus dibiarkan, anak buahnya menjadi kepala besar dan seolah-olah mendapat angin tindakan represif mereka dibenarkan oleh elit-elit kepolisian. Ini yang kita sayangkan kenapa Mabes Polri melakukan kebohongan yang fatal seperti itu.
Reformasi sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun dan untuk pendidikan di Brimob sendiri apakah memang masih menggunakan cara-cara yang militeristik?
Iya jadi reformasi kepolisian itu hanya sebatas di bibir elit-elit kepolisian tapi dibawahnya masih nol besar. Khusus Brimob, memang Brimob itu dilahirkan menjadi militernya polisi dan mereka menggunakan perangkat-perangkat yang berbau militer seperti ada panser, senapan serbu, padahal senapan serbu itu adalah senjata militer untuk menghadapi musuh, bukan untuk memberondong rakyat. Jadi keberadaan Brimob itu sendiri sudah sangat militeristik, peralatan-peralatan yang mereka gunakan itu sangat sarat dengan unsur-unsur militer. Sebab itu ketika mereka dihadapkan dengan masyarakat mereka sangat represif, inilah harus dievaluasi, belum lagi latihan mereka dan pendidikan mereka sangat militeristik.
http://www.kbr68h.com/berita/wawancara/17165
No comments:
Post a Comment