Nusa Tenggara Barat
Budiman Tanuredjo | Agus Mulyadi | Senin, 26 Desember 2011 | 09:11 WIB
"Tindakan aparat kepolisian di Sape, Bima, di luar batas kewenangannya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat," kata Indriaswati Dyah Saptaningrum, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dalam pernyataan pers yang dikeluarkan di Jakarta, Senin (26/12/2011).
Ditegaskan Dyah, profesionalitas dan independensi Kepolisian Republik Indonesia kembali dipertanyakan.
Menurut data yang didapat Elsam, pada 24 Desember 2011, aparat Kepolisian Resor Bima dan Brimob Polda NTB melakukan penembakan dan kekerasan terhadap warga yang tergabung dalam Front Rakyat Anti-Tambang (FRAT), yang memblokade Pelabuhan Sape.
Warga menolak kehadiran perusahaan tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara (PT SMN) yang dianggap akan merusak serta membahayakan lingkungan dan mata pencaharian masyarakat.
Sebaliknya, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal (Pol) Saud Usman Nasution mengatakan, polisi bertindak karena pendudukan fasilitas publik telah mengganggu kepentingan masyarakat lain.
Polri juga tidak berurusan dengan masalah pertambangan karena urusan pertambangan adalah urusan antara pemda dan masyarakat. Jika ada masalah, seharusnya diselesaikan sesuai mekanisme.
Elsam menilai bahwa apa yang dilakukan aparat Polri dalam menangani dan mengatasi aksi demonstrasi ini telah melebihi batas tugas dan kewenangannya, bahkan melebihi batas-batas kemanusiaan.
Tindakan aparat kepolisian tersebut mencerminkan arogansi dan keterasingan kepolisian dari masyarakat. Aparat kepolisian seharusnya tetap melakukan upaya persuasif terhadap para demonstran.
Dalam peristiwa di Bima ini, aparat kepolisian ibarat benalu yang tumbuh bersama-sama dengan tumbuhan, yang akhirnya justru menggerogotinya.
Polri tumbuh dan berkembang bersama-sama dari rakyat Indonesia, tetapi kemudian menjadi pembunuh masyarakatnya sendiri (destroy the fabric of society).
Mereka lupa bahwa pada akhirnya mereka akan turut terkubur juga bersama-sama dengan matinya "pohon Indonesia" yang mereka cederai dan gerogoti selama ini.
Elsam menilai bahwa dalam penanganan aksi demonstrasi di Bima ini, aparat kepolisian telah mengabaikan bahkan melanggar berbagai prinsip dan standar hak asasi manusia yang diakui dan berlaku di Indonesia.
Sejumlah pelanggaran hak asasi yang dilakukan, khususnya hak hidup dan hak atas keamanan diri pribadi, yang telah diatur di dalam UUD 1945; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, serta Deklarasi Kuba tentang Prinsip-prinsip Penggunaan Senjata Api oleh Aparat.
Selain itu, aparat kepolisian juga telah mengabaikan dan melanggar prinsip yang dibuatnya sendiri, seperti Perkap Nomor 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen, Pengamanan dan Organisasi, Perusahaan dan atau Instansi/Lembaga Pemerintah; Protap 01/2010 tentang Simulasi Penanganan Unjuk Rasa Anarkis; dan yang paling penting, Protap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Implementasi Tugas-tugas Polri.
No comments:
Post a Comment