Friday, 30 December 2011

Polisi Gagalkan Upaya Perampokan


Friday, 30 December 2011 10:37

SLEMAN - Anggota Satreskrim Polres Sleman menggagalkan sebuah upaya perampokan Apotek Graha Cristina Fisioterapi di Dusun Sedan, Sariharjo, Ngaglik, kemarin (29/12). Empat pelaku yang berasal dari Dusun Simping, Tirtoadi, Mlati berhasil dilumpuhkan.
Para pelaku itu diketahui sebagai Pramanda, 28, Joko, 25, Rizal Aris, 18, dan Ahmad Maliki, 18. Mereka tertangkap tangan saat mencari benda berharga di lantai atas apotek yang berlokasi di Jalan Palagan Tentara Pelajar sekitar pukul 04.45.


Kecuali Ahmad, tiga pelaku lain dihadiahi timah panas oleh polisi karena berusaha kabur. Masing-masing ditembak di kaki. Ahmad tak ditembak karena dia tak bisa berkutik setelah terjatuh dari lantai dua gedung sasaran. Dari tangan mereka, polisi menyita sebilah golok sepanjang 50 sentimeter, kapak, dan linggis.


Kecurigaan polisi berawal saat anggota patroli melihat mobil pelaku pencurian dengan pemberatan (curat) itu melintas di Jalan Magelang. Mobil disopiri Pramanda. ’’Kami curiga karena plat mobil ditutup lakban,’’ ungkap Kasatreskrim AKP Danang Kuntadi kemarin.
Polisi lantas membuntuti mobil Toyota Avanza bernomor polisi AB 1469 TE itu. Saat itu sekitar pukul 02.30. Mobil beberapa kali berhenti di lokasi yang diduga menjadi incaran. Baru sesampai depan lokasi sasaran di Jalan Palagan Tentara Pelajar, Pramanda menghentikan mobilnya. Dua rekannya, Rizal dan Ahmad, masuk ke apotek setelah membobol pintu belakang. Pramanda dan Joko berjaga di warung di seberang tempat kejadian perkara (TKP). 


Polisi lantas membangunkan penjaga malam laboratorium dan memergoki pelaku saat hendak melarikan diri. ’’Rizal ngumpet di tower sebelum lari,’’ kata Kasatreskrim.
Sementara anggota patroli mengejar Joko dan Pramanda. Akibat luka tembak tiga pelaku lantas dibawa ke RSUD Morangan. Termasuk Ahmad yang terluka memar.
Hingga pukul 09.00, saat diperiksa oleh penyidik,  pengaruh pil koplo keempat pemuda itu agaknya belum hilang total. Mereka memberi keterangan sambil senyum-senyum. Pernyataan yang disampaikan kepada penyidik pun tak konsisten. Beberapa kali penyidik pun merasa dibohongi.
’’Ya, sudah niat. Tapi nggak sengaja. Saya tidak ikutan. Ini hanya alangan. Saya bawa sajam, makanya ditangkap,’’ tutur Pramanda. 


Mahasiswa Hubungan Internasional Fisipol UMY itu mengaku hanya iseng mencari tensoplast dan obat migrain. Padahal di sekitar TKP terdapat dua minimarket 24 jam. ’’Ora ngopo-ngopo. Rung klakon, kok,’’ lanjut pemuda bertato di lengan kanannya itu.
Dari empat tersangka hanya Joko yang diperiksa belakangan. Pemuda tambun itu mengaku kesakitan akibat luka tembak. Dia malah tertidur di ruang pemeriksaan. Para pelaku dijerat dengan pasal 363 KUHP tentang curat dengan ancaman hukuman maksimal 7 tahun penjara. (yog/abd)



http://www.radarjogja.co.id/berita/utama/23096-polisi-gagalkan-upaya-perampokan.html

Thursday, 29 December 2011

Keluarga Temukan Luka Di Muka Bekas Diseret

Kamis, 29 Desember 2011 - 17:51 WIB


BOGOR (Pos Kota) – Pihak keluarga Yusli 23, korban tewas dengan luka tembak di dada pada Senin (26/12), mendesak, agar kematian almarhum diungkap tuntas dan transparan.
Lambannya polisi bereaksi atas laporan mereka bernomor LP/5204/K/XII/2011/Resta-Tangerang, sangat disesalkan.
Pihak keluarga melalui Yeti, kakak korban bahkan meminta, Kapolsek Cisauk dan Kapolres Tangerang bertanggung jawab atas kejadian ini.
“Kami akan terus menuntut keadilan, walau kami sendiri buta hukum,” kata Yeti saat dikonfirmasi wartawan koran ini Kamis (29/12) siang.
Yeti juga meragukan keterangan polisi yang mengatakan, adiknya tertembak di dada, karena berusaha merampas senjata petugas saat dalam perjalanan ke kantor polisi.
“Adik saya pernah ditangkap sebelumnya dan dia tidak melawan. Ia pernah dihukum. Kalau sekarang, bukan penangkapan tapi penculikan. Sampai sekarang, kami keluarga tidak tahu apa penyebab adik saya diambil saat tidak memakai pakaian,” paparnya.
Keraguan keluarga didasarkan pada, fakta, korban yang seorang diri dengan tangan diborgol dalam pengawalan empat petugas bersenjata laras panjang.
Sementara hingga Kamis sore, kondisi istri almarhum masih shok dan labil. Bahkan saat jenasah tiba di rumah dan dibuka, keluarga menemukan berbagai kejanggalan seperti, kepala bagian belakang terus mengeluarkan darah, wajah sebelah kanan hancur seperti diseret di aspal selain luka tembak di dada.
Seperti diberitakan sebelumnya, Yulis, pemuda Parung Kabupaten Bogor diambil dari rumahnya oleh empat petugas bersenjata laras panjang yang menumpang mobil Kijang.
Korban diambil dalam kondisi selamat sekitar pukul 03.00 dinihari, namun menjelang sore, keluarga dikabarkan, kalau pengatin baru ini sudah meninggal.(Yopi/b)


http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2011/12/29/keluarga-temukan-luka-di-muka-bekas-diseret

Tiga Perampok di Sleman Ditembak Polisi


Tribun Jogja - Kamis, 29 Desember 2011 19:42 WIB

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN- Empat orang perampok berhasil ditangkap Satreskrim Polres Sleman saat sedang melancarkan aksinya di apotek Lucas Melaila, di Jalan Palagan, Ngaglik pada Kamis (29/12) dini hari. 

Tiga di antaranya terpaksa ditembak kakinya lantaran mereka berusaha melarikan diri ketika akan ditangkap. Sementara satu pelaku lagi menderita luka-luka akibat terjatuh saat terjadi pengejaran.

Ketiga pelaku tersebut meliputi Dp (18) warga Tirtoadi, Fn (28) warga Cebongan dan Sa (16) warga Cebongan. Sedangkan satu pelaku lagi yaitu Am (18) warga Tirtoadi, Mlati. (*)

Penulis : Mona Kriesdinar     

http://jogja.tribunnews.com/2011/12/29/tiga-perampok-di-sleman-ditembak-polisi

Bandit Jalanan Mengaku Polisi Marak di Banyuasin


Bandit Jalanan Mengaku Polisi Marak di Banyuasin

M Tohir alias Toing

Tribunnews.com - Kamis, 29 Desember 2011 23:07 WIB

TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG - Pelarian M Tohir alias Toing (28), perampok yang mengaku sebagai polisi harus terhenti setelah ditembak petugas saat akan ditangkap Unit Reskrim IB II Palembang di Jalan Palembang-Betung Talang Bulu, Serong, Banyuasin, Kamis (29/12/2011) sekitar pukul 13.00.
Warga Jalan PSI Lautan, Lr Kedukan I, Kelurahan 30 Ilir IB II, Palembang, ini mengaku menjalankan aksinya bersama tiga temannya, yaitu Febi (buron), Yudi (buron) dan Yanto (buron) dengan berpura-pura mengaku sebagai polisi yang sedang melakukan razia.
Saat itu, komplotan ini menjalankan aksinya di Jalan Ki Rangga Wiro Santika Simpang Tiga Suro awal bulan lalu sekitar pukul 02.00 dini hari.
Korbannya bernama Ria, warga rumah susun IB I Palembang.
"Mereka mengenakan pakaian seperti buser, dan menggunakan senter untuk memberhentikan korban. Aku menunggu di atas motor, dan baru mengambil motor, uang dan HP korban," ujar Toing sambil meringis kesakitan.
http://www.tribunnews.com/2011/12/29/bandit-jalanan-mengaku-polisi-marak-di-banyuasin

18 tewas Ditembak Polisi Sepanjang Tahun Ini


TUESDAY, 27 DECEMBER 2011 10:56
ANTONIUS EKO
KBR68H - Institusi kepolisian mendapat sorotan tajam menyusul terjadinya berbagai kasus kekerasan terhadap warga sipil yang dilakukan aparat Brimob. Polisi kerap menjadi satpamnya perusahaan dan penguasa, ketimbang satpamnya masyarakat. Banyak kalangan yang menilai reformasi ke kepolisian gagal. Neta S Pane dari Indonesia Police Watch menjelaskannya dalam wawancara berikut ini
Brimob banyak disorot karena banyak melakukan kekerasan. Tapi catatan anda apakah memang merata yang melakukan kekerasan?
Jadi menurut data Indonesia Police Watch selama 2011 ini ada 96 orang yang ditembak oleh polisi, 18 diantaranya tewas. Di dalam penembakan itu ada dua kategori, pertama aksi main tembak dan kedua aksi salah tembak. Sebagian besar ini, penembakan terjadi di perkebunan dan pertambangan, itu sebagian besar dilakukan teman-teman Brimob. Di sini menunjukan bahwa penempatan Brimob dalam menghadapi konflik di masyarakat, ini sebetulnya harus dievaluasi bahkan kita mengusulkan kalau bisa seharusnya Brimob itu sudah tidak ada, Brimob harus dibubarkan. Kenapa, karena sejarah lahirnya Brimob ini adalah polisi yang dilatih secara militer, polisi yang dibentuk secara militer untuk membantu militer dalam menghadapi Belanda di awal-awal revolusi 45 untuk menghadapi Belanda yang mau masuk lagi ke Indonesia, sehingga latar belakang mereka sangat represif. Sekarang setelah reformasi, konsep polisi itu polisi sipil yang profesional. Jadi keberadaan Brimob dalam konsep polisi sipil yang profesional ini sangat tidak tepat, terbukti belakangan ini banyak sekali konflik yang terjadi antara masyarakat dengan Brimob.
Jadi Brimob saat ini cuma jadi alat kekerasan oleh penguasa atau perusahaan yang bisa dekat?
Iya. Jadi akibat sikap represif mereka, mereka cenderung dimanfaatkan, cenderung dijadikan centeng oleh perusahaan-perusahaan perkebunan atau pertambangan dalam memukul masyarakat yang mencoba memprotes untuk mempertahankan hak-hak mereka. Apalagi terjadi kesahan yang fatal juga seperti di Freeport, itu penempatan Brimob di sana empat bulan, ini jadi permanen mereka sehingga mereka menjadi seperti satpamnya Freeport, bukan satpamnya rakyat. Seharusnya polisi diturunkan ke suatu tempat kalau ada masalah untuk ditengahi oleh polisi, kalaupun tidak ada masalah antisipasi dini atau deteksi dini itu dilakukan intelijen maupun Bimas. Ini kesalahan prosedur yang sangat fatal, bahwa polisi ditempatkan di sana selama berbulan-bulan sehingga polisi sulit membedakan apakah dia polisi rakyat atau polisi Freeport, inilah suatu kesalahan fatal dari konsep penempatan polisi di perusahaan-perusahaan besar itu.
Kalau selain Brimob, catatan kekerasan yang dilakukan oleh satuan polisi lainnya bagaimana?
Kalau dari aksi-aksi penembakan ini, kita berkaca dari aksi penembakan ini Brimob yang terbesar, kemudian Reserse. Reserse ketika mereka mengejar penjahat, seharusnya mereka menembak penjahat justru tembakan itu kena orang lain, bahkan ada pengurus mesjid yang sedang ambil wudhu tertembak, dia tidak tahu apa-apa dia sedang ambil wudhu polisi mengejar penjahat kena dia. Jadi golongan kedua yang paling banyak melakukan penembakan itu adalah Reserse.
Kalau kita bicara persentase, berapa besar sebenarnya persentase Brimob melakukan penembakan dibandingkan satuan polisi yang lainnya?
Kalau dari data yang saya paparkan tadi itu, mencapai 70 persen. Bahkan bisa dikatakan setiap ada konflik, ada permasalahan antara masyarakat dengan masyarakat atau antara masyarakat dengan perusahaan selalu diturunkan Brimob dan itu selalu konflik. Tapi kalau di kota-kota besar, ketika ada aksi demo kemudian yang diturunkan adalah Sabara atau Polwan atau Dalmas itu cenderung konfliknya tidak tajam, tidak melebar. Jadi penempatan Brimob dalam mengatasi aksi massa ini memang harus dievaluasi dan kita mengusulkan sebaiknya Brimob dibubarkan saja.
Kalau soal tembakan-tembakan yang dilakukan polisi, mereka selalu beralasan sudah sesuai Protap dan sebagainya. Apakah ada catatan khusus soal Protap-protap yang selama ini ada di polisi?
Jadi polisi mengatakan penembakan di Bima itu sudah sesuai dengan Protap, sesuai dengan SOP, penembakan di Mesuji juga begitu, itu bohong besar Mabes Polri. Karena dalam SOP itu sudah jelas ada ketentuan yang harus diikuti, pertama polisi itu harus ada pasukan tamengnya, ada pasukan gas air mata, ada water canon, ada peluru hampa, ada peluru karet. Di Mesuji maupun Bima, itu tidak ada water canon, tidak ada gas air mata, bagaimana Mabes Polri bisa mengatakan ini sudah sesuai Protap. Ini suatu kebohongan yang ditampilkan oleh Mabes Polri untuk membela diri mereka sendiri, untuk membenarkan apa-apa yang dilakukan oleh anak buahnya di lapangan secara represif. Kalau ini terus dibiarkan, anak buahnya menjadi kepala besar dan seolah-olah mendapat angin tindakan represif mereka dibenarkan oleh elit-elit kepolisian. Ini yang kita sayangkan kenapa Mabes Polri melakukan kebohongan yang fatal seperti itu.
Reformasi sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun dan untuk pendidikan di Brimob sendiri apakah memang masih menggunakan cara-cara yang militeristik?
Iya jadi reformasi kepolisian itu hanya sebatas di bibir elit-elit kepolisian tapi dibawahnya masih nol besar. Khusus Brimob, memang Brimob itu dilahirkan menjadi militernya polisi dan mereka menggunakan perangkat-perangkat yang berbau militer seperti ada panser, senapan serbu, padahal senapan serbu itu adalah senjata militer untuk menghadapi musuh, bukan untuk memberondong rakyat. Jadi keberadaan Brimob itu sendiri sudah sangat militeristik, peralatan-peralatan yang mereka gunakan itu sangat sarat dengan unsur-unsur militer. Sebab itu ketika mereka dihadapkan dengan masyarakat mereka sangat represif, inilah harus dievaluasi, belum lagi latihan mereka dan pendidikan mereka sangat militeristik.

http://www.kbr68h.com/berita/wawancara/17165

Wednesday, 28 December 2011

Perampok Ditembak Mati


KAMIS, 29-12-2011

Beraksi di Rumah Polisi
MAKASSAR, UPEKS-- Irvan alias Herman (32) warga BTN Pebabri Blok B 12/14 Kel Sudiang meninggal dunia setelah terkena tembakan sebanyak tiga kali.
Saat itu, lelaki tersebut mencoba melakukan perampokan disalah satu rumah oknum kepolisian, Briptu Abdullah yang bertugas anggota Intelkam Polres Gowa di Kompleks Villa Mutiara Klaster Elok Jl Ir Sutami, Rabu (28/12) dini hari.
Sebelum terjadi penembakan, dua orang pelaku masuk dalam rumah korban melalui jendela dilantai dua.
Saat itu kamar yang ditempati tidur, tidak terkunci akhirnya pelaku langsung masuk dalam kamar dan mengancam korban.
Selanjutnya, korban yang mengetahui ada orang masuk dalam kamarnya, dia terbangun dan melihat pelaku melakukan aksinya dengan mengacak-acak lemari.
Menurut korban, saat kedua pelaku masuk dalam kamar, korban tidur bersama istrinya, Syarifa Atika dan dua orang anak, Mira (1), Zena (3) dan mertua perempuannya.
Saat itu, korban bangun dan melihat pelaku berada dalam kamar. Namun, pelaku langsung mengancam korban menggunakan badik dengan mengatakan, kalau goyang saya bunuh semua dengan keluarganya.
“Saat saya melihat pelaku masuk dalam kamar saya langsung bangun, tapi dia malah mengancam kalau bergerak mereka mau bunuh kami sekeluarga,'' kata Abdullah saat ditemui di RS Bayangkara.
Ketika korban diancam, dia mempersilahkan mengambil semua barang berharga yang dimilikinya. Namun saat pelaku akan mengambil tas istri korban yang digantung, badik pelaku disisipkan di pinggang.
Korban yang melihat pelaku sisipkan badik, dia langsung melompati pelaku akhirnya terjadi pertengkaran.
Buntutnya, korban ditikam bagian perut, dada, pipi kiri dan alis.
Selain itu, kedua jempol tangan nyaris putus. Sehingga korban membela diri dengan cara menembak pelaku tiga kali menggunakan pistol jenis Revolver. Buntutnya, pelaku roboh dan meninggal seketika.
Kapolsek Biringkanaya, Kompol Mursalim dikonfirmasi mengatakan, kejadian itu masih dalam pengusutan.
http://www.ujungpandangekspres.com/index.php?option=read&newsid=78200

Hasil Otopsi, Korban Ditembak Dari Jarak Dekat, 52 Anggota Polisi Diperiksa.


Korban Penembakan Dalam ‘Tragedi Lambu’ yang dirawat di RSUD Bima

BABUJU Report,- Perkembangan baru dari hasil Otopsi jenazah Korban Penembakan aparat Kepolisian saat Pembubaran paksa massa FRAT (Rorum Rakyat Anti Tambang) yang menduduki dermaga Sape Bima, Sabtu, 24/12 yang lalu diketahui bahwa Korban meninggal dikarenakan ditembak dari jarak dekat, hal ini ditandai dengan tidak ditemukannya proyektil peluru yang bersarang, alias tembus.
Kepala Divisi Humas Markas Besar Kepolisian Inspektur Jenderal  (Pol) Saud Usman Nasution, mengatakan bahwa Korban Arif Rahman (19) tertembak dari Pinggang kanan tertembus hingga ke dada kiri, sedangkan Syaiful (17) tertembak dari dada tembus ke belakang. “Tidak ditemukan proyektil peluru didalam kedua jasad korban. Hal ini menandakan bahwa korban ditembak dari jarak dekat” ungkapnya, selasa kemarin (28/12) dari jakarta.
Selesai diotopsi pada hari minggu sore(25/12), jenazah kedua korban langsung diantar oleh keluarga masing-masing menuju Kampung halamannya di Desa Sumi Kecamatan Lambu dan dikebumikan pada malam hari. Anggota BABUJU Divisi Investigasi yang mengikuti proses Pemakaman tersebut menceritakan duka keluarga korban yang mendalam. Pada malam itu juga, oleh warga Lambu, Arif Rahman (alm) dan Saiful (alm) dinobatkan menjadi Pahlawan Tolak Tambang. “Oleh pelayat yang mengantar jenazah ke pemakaman, kedua almarhum dianugerahkan sebagai Pahlawan Tolak Tambang” Ungkap salah seorang anggota Divisi Investigasi yang sejak hari sabtu siang berada di kecamatan Lambu.
Pasukan Brimob Yang diarahkan untuk memblokade jalur Soro-Sape
Menanggapi hal tersebut Pengawas Internal Mabes Polri yang tiba di Bima sejak hari selasa (27/12) telah memeriksa 52 anggota Polri yang terlibat dalam insiden kekerasan di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat. Dari jumlah itu, 27 orang diantaranya adalah anggota Brimob, 17 petugas unit pengendalian massa (Dalmas), 6 anggota polsek, dan 2 Perwira Pengendali. Selain mereka, polisi juga memeriksa 6 orang saksi dari warga.
Juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal (Pol) Saud Usman Nasution, yang juga merupakan Kadiv Humas Mabes Polri menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap anggota Polri tersebut dipimpin langsung oleh Irwasum (Inspektur Pengawas Umum) Mabes Polri. “Kapolri yang turunkan Tim untuk itu yang dipimpin langsung oleh Irwasum. Pemeriksaan dilakukan di Mapolsek Sape” Ujarnya. (Liputan: Dhan/ Fatwa)
Tags: 

http://www.babuju.com/laporan-utama/2011/hasil-otopsi-korban-ditembak-dari-jarak-dekat-52-anggota-polisi-diperiksa/

Korban Pemerkosaan Minta Olga Datang ke Rumahnya

Nahyudi
28/12/2011 11:45
Liputan6.com, Depok: Kondisi Ros, korban perampokan dan pemerkosaan di angkutan kota M-26, terus membaik. Saat ditemui di rumahnya di Jalan Raden Saleh, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat, Rabu (28/12), Ros mengaku sanngat lega dan gembira saat mendapat kabar semua pelaku berhasil dibekuk.

Ros berharap polisi menghukum mati atau memenjarakan mereka seumur hidup. Pasalnya, jika hukumannya ringan dikhawatirkan para pelaku akan kembali melakukan perampokan dan perkosaan seperti yang dialami dirinya.

Pada bagian lain Ros sangat menyayangkan ucapan komedian Olga Syahputra. Ia meminta Olga datang ke rumahnya untuk meminta maaf karena ucapan permohonan maafnya di media massa tak cukup. Ucapan Olga, kata Ros, membuat dirinya seperti dilecehkan padahal penderitaannya amat menyakitkan.

Peristiwa perampokan yang disertai perkosaan ini terjadi pada 14 Desember dini hari lalu. Ros dirampok dan diperkosa saat hendak ke Pasar Kemiri Muka.(IAN) 
http://berita.liputan6.com/read/369495/korban-pemerkosaan-minta-olga-datang-ke-rumahnya

Seorang Pemerkosa Ros Ditembak


28/12/2011 12:32
Liputan6.com, Banten: Satu lagi tersangka pemerkosa Ros, pedagang sayur, yang terjadi di dalam angkot M26, ditangkap polisi di Medan, Sumatra Utara.

Dengan pengawalan ketat satuan Jatanras Polda Metro Jaya, tersangka Saad, Selasa (27/12) malam tiba di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, setelah ditangkap di Siantar Medan, Sumatra Utara. Tersangka terpaksa harus menggunakan kursi roda karena dalam penangkapan itu, polisi terpaksa melumpuhkannya dengan timah panas.

Sambil meringis kesakitan saat dibawa ke mobil tahanan, tersangka mengaku tidak ikut memperkosa korban dan hanya memegangi tangan korban. "Bukan saya yang perkosa. Saya pegang tangan doang, nggak ada lagi," ujarnya dengan pelan sambil menutupkan wajahnya.

Guna proses penyidikan, tersangka dibawa ke Mapolda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan.

14 Desember lalu, Ros seorang ibu rumah tangga yang hendak ke Pasar Kemiri Muka, Depok, Jawa Barat, diperkosa dan dirampok tiga pria di dalam angkot M26 tujuan Pasar Minggu-Kampung Melayu. Selain mempreteli perhiasan dan merampas uang korban, para pelaku juga membuang korban di wilayah Cikeas, Bogor, setelah memperkosa korban.

Polisi kini telah menahan empat tersangka, salah satunya seorang mahasiswi yang merupakan pacar salah satu tersangka. Dari hasil penyelidikan polisi, para tersangka sengaja menyewa angkot M26 untuk berkeliling guna menjalankan aksi kejahatannya.(MEL)
http://tv.liputan6.com/main/read/2/1071608/0/seorang-tersangka-pemerkosa-ros-ditembak

Seorang Tersangka Pemerkosa Ros Ditembak


In Occupied Mesuji, a Land Long Riven by Power and Politics


Daniel Pye | December 27, 2011

Mesuji, Lampung. “We need to make a new model for how we distribute power in the countryside,” retired Maj. Gen. Saurip Kadi told a crowd of people huddled under a tent where their village meeting hall once stood. 

The former general was leading a delegation to Mesuji, Lampung, on Monday to publicly record for the first time testimony from the relatives of villagers killed in a land dispute with palm oil and rubber companies. 

The relatives of villagers allegedly killed by police and paramilitary forces in the pay of those firms met with representatives of religious groups, human rights activists and media to demand a dialogue with the central government and the companies. 

They say palm oil companies Bangun Nusa Indah Lampung and Silva Inhutani, among others, have carried out a systematic campaign of violence and intimidation since 2008 which has led to 32 deaths and the destruction of their livelihoods, forcing them from their lands. 

The companies deny the allegations. Police have countered the release of a gruesome video showing a company-ordered raid on the villages by releasing footage they claim shows the destruction of company property. 

The delegation, which included a member of the House of Representatives, Nudirman Munir of the Golkar Party, attempted to visit the BNIL factory but was prevented from entering by several dozen police officers. 

Previously, residents of Mesuji’s scattered villages and camps had been afraid to speak out, they said. But the presence of Saurip, television cameras and a lawmaker from the central government visibly bolstered their resolve. 

Occupy Mesuji 

Following the killings and subsequent exodus from parts of Mesuji in April, villagers returned to find their houses destroyed. The only permanent structure remaining in Register 45 is the burnt shell of a mosque, perched on a hill overlooking what is now a small displaced persons camp. 

Villagers have pledged to continue occupying land held by palm oil firm BNIL in the Register 45 area until the central government holds those responsible for the violence to account. 

Some 20 families are now living in tents on the site, and the local branch of the Islamic Defenders Front (FPI) has helped build a clinic where Occupied Mesuji’s first baby was born on Sunday. 

“We will continue to occupy our traditional lands, the lands of the Megou Pak,” said Surdi, 42, an elder of Kampung Banjar, in reference to Lampung’s indigenous tribe. “There are few of us here, but if BNIL does not return the land to us according to our customary rights, we will bring more people to occupy our land.” 

“We are willing to die to demand our rights,” he continued. “We are Indonesian citizens who have the same right to life as everyone else.” 

The Megou Pak have lived in the area for generations and claim land rights under customary law, known asadat, which isn’t fully recognized by the courts. Members of the tribe were evicted from the Tunggal Jaya hamlet on Sept. 8 and some now live in the Register 45 camp. 

BNIL and Silva were granted plantation contracts under recent laws, such as the 2004 Law on Plantations, that extended local governments’ power to issue concessions. Those powers were limited under the 1960 Agrarian Law, the basis for many land transactions in the past. 

A history of violence 

The conflict over land in Mesuji began long before 2008. One woman who wished to remain anonymous said that in 1999, her hamlet — which is situated less than a kilometer from Register 45, down a pot-holed road flanked by palm oil trees — was bulldozed along with six others to make way for coconut and palm oil concessions. 

“I had four children, and two of them went missing during the time of aggression of the owners of that plantation,” she said, pointing behind the tent where she now lives with her husband. 

Saurip, who spearheaded the latest investigation into the killings, blames a lack of political will on the part of the president for the tortuously slow progress on the case, which has been taken up by “all of the human rights groups in the country.” 

He said the government’s move to blame National Police Chief Gen. Timur Pradopo for rising violence against civilians across the country was misguided and showed a lack of understanding of the issues. 

“What happened in Lampung goes back to the Suharto era. Now that Indonesia is democratic, people can see what is going on. It is very simple. Nothing has changed in the way land is managed,” he said. “It all comes down to who can pay the most. 

“Capital is king in today’s Indonesia, as it was under Suharto. There is no justice and the government is more supportive to business than to the people.” 

Saurip, along with other members of the delegation, spoke of a growing need to address the issue of land rights in Indonesia. 

“The case of Mesuji is just one case out of many abuses across Indonesia. Companies are granted land licenses by the central government, but in most cases the people who live there have done so for many years,” he said. 

Confession 

A member of PAM Swakarsa, the private militia of the plantation companies, has come forward to refute claims made by the police that a video showing officers shooting and then decapitating villagers was faked. 

Trubus, 34, said he had replied to a job advertisement under the impression that he would be working in forest preservation. Instead, he was told to spy on the people of Mesuji. 

“All the events shown in the video were in Mesuji,” Trubus said. “I know, because I was holding the camera. 

“There has been conflict over the land for many years, but then the company formed what they called an ‘integrated task force’ to clear the villages.” 

Trubus (not his real name) said at least two palm oil and rubber companies had paid the Public Order Agency (Satpol PP), Forestry Ministry officials, the local police and PAM Swakarsa a total of Rp 7 billion ($770,000) to force transmigrant communities and the Megou Pak from lands they had farmed for many years. 

“In April, I saw bodies lying in the street and as I walked through the streets I found two severed heads on top of a jeep,” he said. 

President Susilo Bambang Yudhoyono has appointed the Deputy Law and Human Rights Minister Denny Indrayana to lead a joint fact-finding team to investigate the allegations of systematic murder for profit. 

But the campaigners expressed little hope that the probe would help ease Mesuji’s pain. 

“The main problem here is a lack of political will at the top,” Saurip said. “This is about justice and empowering the poor people of the countryside.” 

The land around Register 45 is fertile and can sustain healthy crops, but several villagers said they may be forced to move to land five kilometers down the road. 

“I may have to leave with my family if something doesn’t happen soon,” said Wayan, 48, a lanky man with mournful eyes. “The land over there is virtually worthless. This is completely unsustainable. 

“Under our Constitution, the land is sacred and belongs to the people. That doesn’t include already wealthy foreign firms that come here to exploit and care nothing for the people who rely on the land to survive.”

http://www.thejakartaglobe.com/news/in-occupied-mesuji-a-land-long-riven-by-power-and-politics/487444