JAKARTA, KOMPAS.com — Polri mempertanyakan data yang dimiliki Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan terkait adanya tindakan kekerasan terhadap sejumlah masyarakat oleh anggota kepolisian.
"Kita perlu cari tahu lagi. Data-data yang dimiliki itu terjadi di mana. Itu harus clear," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Boy Rafli Amar di Gedung PTIK, Jakarta, Senin (27/6/2011), saat dimintai tanggapan mengenai hasil penelitian Kontras.
Seperti diberitakan, hasil penelitian yang dilakukan Kontras sejak Juli 2010 hingga Juni 2011 menunjukkan setidaknya ada 30 pola kekerasan oleh kepolisian. Data itu didapat berdasarkan hasil pengakuan korban ataupun hasil peliputan media.
Pola kekerasan saat pemeriksaan seperti pemukulan, direndam di dalam air, telinga disundut api rokok, mulut dipukul pakai kunci inggris, dijepit dengan ikat pinggang, dan leher diikat dengan seutas tali, serta berbagai bentuk kekerasan lain.
Boy mengatakan, tidak ada peraturan atau kebijakan dalam insitusinya yang membenarkan kekerasan dalam menegakkan hukum. Tugas Polri, menurut Boy, memberikan perlindungan, pengayoman, dan menegakkan hukum dalam rangka keamanan dan ketertiban.
"Jadi, dalam konteks apa pun, tidak ada kebijakan kekerasan, kecuali dalam konteks tindakan kekerasan petugas berdasarkan hukum. Seperti penggunaan senjata api, itu diatur dalam undang-undang," kata Boy.
Ketika ditanya apakah Polri ragu data yang dimiliki Kontras, Boy menyatakan, "Oh tidak. Cara pengumpulan data tentu harus diberikan kepada kita."
Boy mengakui bahwa pengawasan para petugas di berbagai daerah yang kurang. "Karena Polri itu kan organisasi yang digerakkan berdasarkan manajemen. Itu ada pengawasan, perencanaan, pengorganisasian, sampai kontrol," kata dia.
No comments:
Post a Comment