Tanggal : | 04 Nov 2011 |
Sumber : | korantempo.com |
Prakarsa Rakyat,
4 November 2011
Pada bulan ini, perselisihan antara polisi dan para demonstran berujung dengan ditembakkannya peluru ke arah demonstran oleh pihak kepolisian, yang menyebabkan seorang karyawan meninggal dengan banyak luka tembak bersarang di tubuhnya. Pertikaian tersebut semakin meruncing dengan terungkapnya fakta bahwa PT Freeport telah memberikan dana jutaan dolar secara terselubung kepada pihak kepolisian dan militer Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, dan aktivis antikorupsi meminta Kepolisian RI mempertanggungjawabkan pembayaran tersebut. Ini merupakan langkah ke arah yang tepat. Tapi, mengaudit PT Freeport ibarat mengobati gejala suatu penyakit, bukan penyebab penyakit tersebut.
PT Freeport bukanlah satu-satunya perusahaan yang memberikan dana terselubung kepada pihak kepolisian. Pada kenyataannya, dana di luar penganggaran merupakan suatu kesalahkaprahan yang terjadi dalam dunia kelam pendanaan kepolisian---suatu kenyataan yang berimplikasi negatif dalam catatan hak asasi manusia.
Sudah barang tentu pihak kepolisian berargumen bahwa mereka membutuhkan dukungan dana tersebut. Meskipun anggaran nasional telah melangit lebih dari 600 persen pada dekade lalu, secara tidak resmi pihak kepolisian memberikan alasan bahwa mereka terpaksa mencari dana di luar penganggaran untuk mengatasi kesenjangan antara biaya operasionalnya dan alokasi anggaran pemerintah.
Pihak kepolisian menekankan, untuk meneliti suatu kasus atau mengamankan aksi-aksi protes, mereka harus memungut pajak tidak resmi dan sumbangan dari masyarakat. Sumbangan dari masyarakat dalam penyidikan dan pengamanan unjuk rasa telah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Secara tidak langsung, kepolisian beranggapan bahwa bantuan dana di luar penganggaran merupakan bentuk anggaran bayangan untuk mengatasi defisiensi negara daripada melihatnya sebagai bentuk korupsi.
Meskipun demikian, analisis sistem keuangan kepolisian mengungkapkan gambaran yang lebih rumit. Masalah pokok terletak pada pemrioritasan penganggaran yang buruk, distribusi anggaran yang tidak lancar, dan penggelapan yang terjadi secara terus-menerus.
Markas Besar Kepolisian RI menghabiskan seperempat dari total anggaran tahunan untuk kepentingannya sendiri. Sebagian besar dari 75 persen anggaran digunakan untuk gaji dan infrastruktur, bukan untuk operasi kepolisian. Pada 2002, para anggota kepolisian yang bertugas di Papua Barat menyatakan kepada para peneliti dari Kemitraan untuk Pemerintah bahwa 65-95 persen dari anggaran kerja mereka berasal dari sumber-sumber kejahatan terselubung.
Para pengelola keuangan tidak dapat menyebutkan secara pasti alokasi anggaran tahunan mereka. Mereka sering kali diminta menandatangani bukti penerimaan uang yang tidak mereka terima. Akibatnya, laporan keuangan tahunan mereka fiktif belaka. Masalahnya bukan tidak terdapat dana yang memadai dalam lembaga kepolisian, melainkan distribusi anggaran dari pusat ke daerah sangat lambat dan tidak efektif.
Akibatnya, lebih dari 40 persen anggaran tahunan kepolisian tersimpan di markas besar di Jakarta. Reformasi keuangan yang dicanangkan pada 2004, di mana kepolisian resor mengalokasikan dana, hanya menunjukkan perubahan kecil hingga akhirnya berjalan lambat dan lenyap tidak berbekas. Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh program Departemen Kehakiman Amerika Serikat pada 2007 menunjukkan pihak kepolisian terus beroperasi tanpa dokumen anggaran dan perencanaan, serta memalsukan audit tahunan mereka.
Selama sistem keuangan Polri terus menciptakan situasi kebangkrutan sendiri, anggota Polri dapat beralasan bahwa mereka memungut sejumlah uang terselubung untuk mendanai kegiatan kepolisian dan mendukung keuangan perorangan mereka pada waktu tersebut. Dalam iklim penganggaran saat ini, bukan hanya Freeport McMoran yang harus memberikan sejumlah uang untuk dukungan keamanan, tapi juga berbagai pelaku bisnis di berbagai wilayah Indonesia.
Aliansi antara modal dan kekerasan berdampak langsung pada hak asasi manusia pengelola buruh serta tersangka kejahatan, sehingga polisi menyediakan penyokong urusan keuangan mereka.
PT Freeport McMoran memiliki catatan HAM yang patut dipertanyakan, tapi pemimpin buruh dan tersangka kejahatan yang dituduh melakukan kejahatan melawan perkebunan, pertambangan, pabrik, serta toko-toko eceran milik pemerintah rentan terhadap penembakan yang berkaitan dengan retribusi dan siksaan pihak kepolisian. Di Lampung, pada Juni tahun ini, wartawan yang meliput sebuah sengketa buruh ditembak oleh petugas kepolisian yang sedang berpatroli. Pada Januari, di Jambi, enam pencuri minyak kelapa sawit ditembak di dada, punggung, dan wajah. Tahun lalu, di Jawa Barat, seorang mahasiswa yang memimpin para buruh ditembak mati di kepala setelah membantu mengatur sebuah aksi protes. Ini bukanlah ulah oknum perorangan, tapi merupakan dampak negatif dari sebuah sistem pengelolaan keuangan yang telah mati, yang melegitimasi pencarian dana tambahan oleh pihak kepolisian.
Saat masyarakat Indonesia berdebat tentang bagaimana dana terselubung jutaan dolar dari PT Freeport kepada pihak kepolisian berdampak pada buruknya penegakan HAM di tambang Grasberg, masyarakat akan mengingat secara baik bahwa di atas semua masalah tersebut, PT Freeport bukanlah pelaku kejahatan yang unik. Sebaliknya, baik Polri maupun PT Freeport beroperasi dalam sebuah struktur yang lebih luas, dengan modal dan kekerasan yang berjalan selaras membahayakan. Bukan hanya pembayaran pihak Freeport yang membutuhkan audit, sistem keuangan kepolisian (juga) memerlukan pemeriksaan yang radikal. Selama sistem keuangan Polri belum direformasi dan disusun ulang secara substansial, penembakan-penembakan akan terus berlanjut. l
Bukan hanya pembayaran pihak Freeport yang membutuhkan audit, sistem keuangan kepolisian (juga) memerlukan pemeriksaan yang radikal. Selama sistem keuangan Polri belum direformasi dan disusun ulang secara substansial, penembakan-penembakan akan terus berlanjut.
4 November 2011
Pada bulan ini, perselisihan antara polisi dan para demonstran berujung dengan ditembakkannya peluru ke arah demonstran oleh pihak kepolisian, yang menyebabkan seorang karyawan meninggal dengan banyak luka tembak bersarang di tubuhnya. Pertikaian tersebut semakin meruncing dengan terungkapnya fakta bahwa PT Freeport telah memberikan dana jutaan dolar secara terselubung kepada pihak kepolisian dan militer Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, dan aktivis antikorupsi meminta Kepolisian RI mempertanggungjawabkan pembayaran tersebut. Ini merupakan langkah ke arah yang tepat. Tapi, mengaudit PT Freeport ibarat mengobati gejala suatu penyakit, bukan penyebab penyakit tersebut.
PT Freeport bukanlah satu-satunya perusahaan yang memberikan dana terselubung kepada pihak kepolisian. Pada kenyataannya, dana di luar penganggaran merupakan suatu kesalahkaprahan yang terjadi dalam dunia kelam pendanaan kepolisian---suatu kenyataan yang berimplikasi negatif dalam catatan hak asasi manusia.
Sudah barang tentu pihak kepolisian berargumen bahwa mereka membutuhkan dukungan dana tersebut. Meskipun anggaran nasional telah melangit lebih dari 600 persen pada dekade lalu, secara tidak resmi pihak kepolisian memberikan alasan bahwa mereka terpaksa mencari dana di luar penganggaran untuk mengatasi kesenjangan antara biaya operasionalnya dan alokasi anggaran pemerintah.
Pihak kepolisian menekankan, untuk meneliti suatu kasus atau mengamankan aksi-aksi protes, mereka harus memungut pajak tidak resmi dan sumbangan dari masyarakat. Sumbangan dari masyarakat dalam penyidikan dan pengamanan unjuk rasa telah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Secara tidak langsung, kepolisian beranggapan bahwa bantuan dana di luar penganggaran merupakan bentuk anggaran bayangan untuk mengatasi defisiensi negara daripada melihatnya sebagai bentuk korupsi.
Meskipun demikian, analisis sistem keuangan kepolisian mengungkapkan gambaran yang lebih rumit. Masalah pokok terletak pada pemrioritasan penganggaran yang buruk, distribusi anggaran yang tidak lancar, dan penggelapan yang terjadi secara terus-menerus.
Markas Besar Kepolisian RI menghabiskan seperempat dari total anggaran tahunan untuk kepentingannya sendiri. Sebagian besar dari 75 persen anggaran digunakan untuk gaji dan infrastruktur, bukan untuk operasi kepolisian. Pada 2002, para anggota kepolisian yang bertugas di Papua Barat menyatakan kepada para peneliti dari Kemitraan untuk Pemerintah bahwa 65-95 persen dari anggaran kerja mereka berasal dari sumber-sumber kejahatan terselubung.
Para pengelola keuangan tidak dapat menyebutkan secara pasti alokasi anggaran tahunan mereka. Mereka sering kali diminta menandatangani bukti penerimaan uang yang tidak mereka terima. Akibatnya, laporan keuangan tahunan mereka fiktif belaka. Masalahnya bukan tidak terdapat dana yang memadai dalam lembaga kepolisian, melainkan distribusi anggaran dari pusat ke daerah sangat lambat dan tidak efektif.
Akibatnya, lebih dari 40 persen anggaran tahunan kepolisian tersimpan di markas besar di Jakarta. Reformasi keuangan yang dicanangkan pada 2004, di mana kepolisian resor mengalokasikan dana, hanya menunjukkan perubahan kecil hingga akhirnya berjalan lambat dan lenyap tidak berbekas. Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh program Departemen Kehakiman Amerika Serikat pada 2007 menunjukkan pihak kepolisian terus beroperasi tanpa dokumen anggaran dan perencanaan, serta memalsukan audit tahunan mereka.
Selama sistem keuangan Polri terus menciptakan situasi kebangkrutan sendiri, anggota Polri dapat beralasan bahwa mereka memungut sejumlah uang terselubung untuk mendanai kegiatan kepolisian dan mendukung keuangan perorangan mereka pada waktu tersebut. Dalam iklim penganggaran saat ini, bukan hanya Freeport McMoran yang harus memberikan sejumlah uang untuk dukungan keamanan, tapi juga berbagai pelaku bisnis di berbagai wilayah Indonesia.
Aliansi antara modal dan kekerasan berdampak langsung pada hak asasi manusia pengelola buruh serta tersangka kejahatan, sehingga polisi menyediakan penyokong urusan keuangan mereka.
PT Freeport McMoran memiliki catatan HAM yang patut dipertanyakan, tapi pemimpin buruh dan tersangka kejahatan yang dituduh melakukan kejahatan melawan perkebunan, pertambangan, pabrik, serta toko-toko eceran milik pemerintah rentan terhadap penembakan yang berkaitan dengan retribusi dan siksaan pihak kepolisian. Di Lampung, pada Juni tahun ini, wartawan yang meliput sebuah sengketa buruh ditembak oleh petugas kepolisian yang sedang berpatroli. Pada Januari, di Jambi, enam pencuri minyak kelapa sawit ditembak di dada, punggung, dan wajah. Tahun lalu, di Jawa Barat, seorang mahasiswa yang memimpin para buruh ditembak mati di kepala setelah membantu mengatur sebuah aksi protes. Ini bukanlah ulah oknum perorangan, tapi merupakan dampak negatif dari sebuah sistem pengelolaan keuangan yang telah mati, yang melegitimasi pencarian dana tambahan oleh pihak kepolisian.
Saat masyarakat Indonesia berdebat tentang bagaimana dana terselubung jutaan dolar dari PT Freeport kepada pihak kepolisian berdampak pada buruknya penegakan HAM di tambang Grasberg, masyarakat akan mengingat secara baik bahwa di atas semua masalah tersebut, PT Freeport bukanlah pelaku kejahatan yang unik. Sebaliknya, baik Polri maupun PT Freeport beroperasi dalam sebuah struktur yang lebih luas, dengan modal dan kekerasan yang berjalan selaras membahayakan. Bukan hanya pembayaran pihak Freeport yang membutuhkan audit, sistem keuangan kepolisian (juga) memerlukan pemeriksaan yang radikal. Selama sistem keuangan Polri belum direformasi dan disusun ulang secara substansial, penembakan-penembakan akan terus berlanjut. l
Bukan hanya pembayaran pihak Freeport yang membutuhkan audit, sistem keuangan kepolisian (juga) memerlukan pemeriksaan yang radikal. Selama sistem keuangan Polri belum direformasi dan disusun ulang secara substansial, penembakan-penembakan akan terus berlanjut.
http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/fokus/artikel.php?aid=51933
No comments:
Post a Comment