KRIMINALITAS
Dhia
Prekasha Yoedha, Kriminolog Universitas Indonesia
Senin, 27 Februari 2012
JAKARTA (Suara Karya): Petugas kepolisian (Polri) diminta bersikap
tegas dalam mengatasi aksi premanisme yang dilakukan organisasi dan kelompok
massa. Untuk menimbulkan efek jera, polisi tak usah segan-segan menembak mati
pelaku premanisme yang sudah bersikap brutal.
Desakan itu disampaikan kriminolog Universitas Indonesia Dhia Prekasha
Yoedha, tokoh pemuda yang pernah malang melintang di dunia "jalanan"
di Ibu Kota, Hercules Rozario Marshal atau lebih dikenal Hercules, serta
anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta Rudin Akbar Lubis di Jakarta, Minggu (26/2).
"Melumpuhkan preman penting dilakukan aparat kepolisian karena,
dengan begitu, polisi bisa mengorek keterangan sebanyak-banyaknya dari pelaku
premanisme, seperti siapa yang menyuruh, kelompok mana yang melindungi dan
lain-lain," kata Dhia Prekasha.
Ia mengingatkan, polisi harus punya keterampilan untuk melumpuhkan
preman. Keterampilan yang dimaksud, polisi punya kemampuan menghadapi preman,
termasuk menggunakan senjata yang bersifat melumpuhkan.
"Yang paling penting adalah mencegah agar premanisme tidak
berkembang. Problem kita sumber daya manusia (SDM) di kepolisian masih lemah.
Sering kita lihat polisi melakukan pengabaian terhadap aksi dan tindakan yang
mengarah premanisme," kata Dhia Prekasha.
Hercules Rozario Marshal mengaku setuju preman yang bertindak brutal
ditembak mati.
"Kepolisian harus menindak tegas preman beserta organisasinya.
Jika mereka melawan polisi, saya kira sah-sah saja preman itu ditembak
mati," kata Hercules yang juga Ketua Umum Gerakan Rakyat Indonesia Baru
(GRIB) di sela-sela pemberian bantuan kepada korban kebakaran di Jalan Lautze,
Jakarta Pusat, Minggu (26/2).
Tentang tindakan itu melanggar hak asasi manusia (HAM), Hercules
mengatakan, "Hal ini bukan masalah melanggar HAM atau bukan. Kalau memang
melawan, tembak saja."
Hercules menuturkan, aksi premanisme di Jakarta sering kali merugikan
masyarakat. Karena itu, dia meminta aksi kekerasan oleh preman harus dihadapi
dengan keras juga tanpa pandang bulu. Ini hanya bisa kalau polisi bersikap
tegas.
Rudin Akbar Lubis mengatakan, maraknya aksi premanisme karena wibawa
aparat kepolisian melorot. Tindakan aparat sering kali dilakukan setelah
terjadinya kekerasan (premanisme), bukan secara dini mencegah agar kekerasan
berlangsung meluas.
"Premanisme di mana-mana ada. Hanya masalahnya mengapa di Jakarta
kian brutal? Hal ini karena aparat kita kurang tegas dan terkesan melindungi
dan melakukan pembiaran," katanya.
Kesan melindungi dan melakukan pembiaran itu terlihat ketika polisi
baru bisa bertindak setelah aksi kekerasan yang meresahkan banyak orang muncul
di permukaan. Padahal, polisi sudah mencium indikasi bakal ada kekerasan itu
sejak awal.
"Seharusnya polisi secara dini mencegah agar kekerasan yang
mengarah ke brutalisme tidak makin meluas. Kan SDM (sumber daya manusia) dan
perangkat yang dimiliki Polri makin banyak dan canggih, seperti intelijen,
Binmas, dan lain-lain. Polisi juga bisa berkoordinasi dengan TNI dan
Linmas," kata mantan pengacara ini.
Tindakan tegas dan tidak pandang buku ini, kata Rudin, pernah
ditunjukkan oleh Irjen Bambang Hendarso Danuri sewaktu menjabat Kapolda
Sumatera Utara. Begitu dilantik menjadi Kapolda, Bambang Hendarso melakukan
gebrakan untuk membasmi premanisme. Bambang Hendarso melakukan mutasi terhadap
bawahannya yang dianggap tidak tegas menghadapi preman dan pada saat bersamaan
menggelar operasi besar-besaran menindak aksi premanisme.
"Gaung yang dilakukan Pak Hendarso waktu itu terasa sekali.
Preman-preman ketakutan dan para kapolres berikut jajarannya juga punya
keberanian untuk menindak tegas preman yang memang sudah kelewatan," kata
Rudin. Ia menambahkan, operasi preman bukan hanya sebatas razia kemudian selesai,
melainkan ditindaklanjuti dengan proses hukum dan memberikan hukuman yang
setimpal dengan perbuatannya.
Sementara itu, dalam kasus penyerangan di RS Pusat Angkatan Darat
Gatot Subroto, polisi telah menetapkan 5 tersangka dari 13 orang yang diamankan.
Kebanyakan tersangka bertempat tinggal di Kampung Ambon, Cengkareng, Jakarta
Barat.
"Lima tersangka itu punya peran masing-masing," kata Kabid
Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto kepada wartawan di mapolda kemarin.
Lima tersangka itu yakni Edward Tupessy alias Edo Kiting (ET), Cretes alias
Heri (H), Toni alias Ongen (O), Rens (R) dan Abraham (A).
Dia menjelaskan, penyerangan dikoordinasi tersangka E. E berperan
sebagai pengatur penyerangan dan mengetahui keberadaan para korban yang sedang
melayat Bob Sahusilawane di rumah duka RSPAD Gatot Subroto.
Barang bukti yang diamankan yakni 1 senpi air soft gun, 4 buah golok,
5 parang, 1 gunting, 24 anak panah, 1 tombak, kemeja, recorder CCTV, dan stik
isi senjata tajam.
Rikwanto menjelaskan, pemicu adanya penyerangan yang menewaskan dua
orang itu berawal dari tersangka ET yang mempunyai urusan dengan ED soal utang
piutang sabu-sabu sebesar Rp 320 juta.
ED ini merupakan saudara ipar
dari Stendly AY Wenno (korban meninggal). Saat tiba di rumah duka, ET mengira
ada ED di tempat tersebut sebab ET melihat banyak rekan dan saudara ED. (Sadono
No comments:
Post a Comment