Wednesday 29 February 2012

Mengeliminasi Salah Tembak


01 Maret 2012
KASUS salah tembak oleh polisi kembali terjadi hingga menewaskan Supri Handoko (36), warga RT 2 RW 2 Desa Jrakah Kecamatan Bayan Kabupaten Purworejo, Minggu (26/02) malam. Korban tertembak oleh polisi yang sebenarnya akan menangkap Slamet, kakak korban, pelaku kasus pencurian dengan pemberatan.
Kejadian itu menambah panjang daftar kejadian serupa, seperti dialami Noviandi (24), yang menjadi korban salah tembak aparat Polres Kota Pontianak Kalimantan Barat (21/02). Insiden itu bermula dari kecurigaan polisi terhadap korban atas dugaan terlibat perampokan di sebuah rumah di Pontianak.
Kasus lain menimpa Mamuaya (27), tukang ojek, warga Pateten Bitung Sulawesi Utara yang menjadi korban salah tembak 4 anggota Buser Polres Bitung, atas sangkaan terlibat penjambretan. Penembakan terjadi di rumah ketika korban sedang memasak tiba-tiba anggota Buser itu langsung menembaknya.
Terlepas dari korban salah tembak itu meninggal dunia atau luka-luka, peristiwa itu mengundang  keprihatinan. Pasalnya, kejadiannya terus berulang dan motifnya pun tidak berubah, yaitu polisi akan menangkap orang yang diduga pelaku kejahatan, namun salah sasaran. Kesalahan itu bisa menyangkut salah orangnya atau peluru mengenai orang lain.
Mengapa kejadian itu terus berulang? Dalam teori mengenai teknik dan taktik penangkapan seseorang yang diduga pelaku kejahatan, seorang polisi tidak boleh gegabah mengidentifikasi sasarannya. Ini menjadi hal penting dan masuk substansi prosedur yang wajib dilakukan. Sebelum menyentuh ke sasaran, polisi harus sudah mengantongi gambaran, baik secara fisik, kebiasaan, maupun profil pribadi sasarannya itu.
Titik Lemah
Ketika terjadi keadaan kontijensi atau kondisi yang tidak diharapkan, misalnya orang yang hendak ditangkap itu melawan hingga membahayakan polisi atau orang lain (masyarakat di sekitar), melarikan diri, atau berusaha mencederai diri, barulah sasaran itu ditembak di bagian tubuh yang akibatnya tidak mematikan. Tentu saja polisi itu harus mendahului dengan melepas tembakan peringatan agar sasarannya menyerah.
Mengidentifikasi sasaran secara tepat inilah yang biasanya menjadi titik lemah atau pemicu kasus salah tembak. Pada kasus yang menimpa Supri, jelas-jelas sasaran polisi adalah Slamet, yang kebetulan kakak korban. Salah tembak tidak akan terjadi bila polisi tepat mengidentifikasi sasaran yang hendak ditangkap. Apakah hal ini sudah dilakukan sebelumnya oleh polisi yang akan menangkap Slamet?
Identifikasi sasaran harus dilakukan pada tahap prapenangkapan melalui berbagai cara  tersembunyi. Bila dilakukan secara terbuka, misalnya bertanya kepada keluarga, tetangga, atau teman, hal itu membuka peluang bocornya informasi sampai ke telinga sasaran (orang yang dicari). Mau tidak mau polisi harus menggunakan teknik undercover ataupun penyamaran untuk bisa memastikan bahwa orang itulah yang memang perlu ditangkap.
Persoalannya, teknik undercover itu bukan hal yang mudah dilakukan. Di samping butuh waktu, biaya, dan tenaga, biasanya juga terkait dengan waktu. Polisi dikejar oleh waktu sebab bila lamban bertindak maka risikonya orang yang akan ditangkap keburu lari. Makin lama polisi merancang penangkapan, makin terbuka lebar peluang orang yang dicarinya untuk lari. Inilah dilema polisi saat dihadapkan pada tahapan prapenangkapan.
Namun karena sudah menjadi bagian dari profesionalisme, polisi tidak boleh menghindar. Tahapan pengidentifikasian, bagaimana pun situasi dan kondisinya, harus dilakukan hingga membuahkan keyakinan bahwa sasaran atau target operasi itu adalah benar-benar orang yang harus ditangkap. Bukan hanya mengandalkan insting, mendasarkan pada spekulasi, atau fatalnya asal tangkap dulu karena cara ini bisa berbuntut salah tembak. (10)

— Herie Purwanto SH MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)

No comments:

Post a Comment