Sunday, 17 October 2010

Protap Tembak Pelaku Anarkisme

  • Oleh Herie Purwanto
TIDAK terbantahkan lagi dugaan publik bahwa latar belakang kebijakan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengeluarkan kebijakan Prosedur Tetap (Protap) Nomor 1/X/2010 tentang Penanggulangan Tindakan Anarki adalah merebaknya serangkaian tindakan kekerasan di masyarakat belakangan ini. Muncul kesan Polri seakan-akan kewalahan menghadapi kekerasan di ruang publik tanpa mampu berbuat apapun.

Kasus kekerasan di ruang publik menggambarkan bagaimana massa secara masif menunjukkan kekuatannya dan polisi yang bertugas di lapangan ibarat macan ompong, tanpa mampu mencegah jatuhnya korban, sebagaimana terjadi pada kasus kerusuhan di Tarakan Kaltim dan Jalan Ampera depan gedung PN Jakarta Selatan. Dalam kedua kasus bentrok massa tersebut digambarkan betapa polisi dianggap tidak ada keberadaannya. Ataukah polisi gamang melakukan tindakan polisional ?

Bukankah selama ini, bila terjadi penanganan tindak kekerasan di lapangan dan jatuh korban maka polisi yang bertugas di lapangan, baik pelaksana maupun pimpinannya, yang dijadikan sasaran kesalahan? Dikatakan melanggar HAM, tidak prosedural, tidak manusiwawi, dan seterusnya persepsi yang muncul.

Di lapangan, meskipun polisi yang berhadapan dengan massa sudah dibekali dengan ilmu taktis bagaimana menghadapi eskalasi kekerasan, penulis yakin untuk melaksanakan dan menerapkan ilmu taktis tadi tetap muncul keragu-raguan: jangan-jangan nanti tetap dipersalahkan, jangan-jangan...

Karena itu, kepastian hukum dalam setiap tindakan polisional sangat dibutuhkan. Lebih-lebih jajaran kepolisian terdoktrin sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Secara universal, kepolisian diberi kewenangan melakukan tindakan keras, termasuk tembak di tempat bagi pelaku kerusuhan atau siapapun yang perbuatannya membahayakan jiwa orang lain.

Memang pada sisi lain, ada konvensi internasional yang menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia (International Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment of Punishment) yang diratifikasi pada UU Nomor 5 Tahun 1998. Hal yang penting dari amanat UU itu, yakni dalam melaksanakan tugasnya, polisi tetap harus menjunjung tinggi HAM.

Menjadi Pedoman

Hanya permasalahannya adalah kontruksi untuk mewujudkan keamanan yang berhadapan dengan situasi tidak aman, ketertiban berada dalam satu aras dengan kekacauan, dam perlindungan berada dalam konteks mempunyai kekuatan. Adanya sisi lain yang berhadapan atas tugas polisi ini memunculkan ambivalensi sikap, yaitu pada satu sisi polisi harus civil society namun pada sisi lain harus menampakan dirinya sebagai penegak hukum yang bersikap represif.

Tindakan polisional yang mendasarkan pada HAM, salah satu cirinya adalah bisa dipertanggung jawabkan, sebagaimana dikatakan Prof Dr Miriam Budiardjo yaitu adanya prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan penyelenggara pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan itu. (1998).

Dalam konteks pemberlakukan protap sebagai standar operasional prosedur (SOP), Kapolri memandang sebagai sesuatu yang harus ada, untuk menjamin kepastian hukum bahwa Polri mempunyai protap yang terukur, bisa dijadikan pedoman oleh kapolda, direktur intelijen, kapolres, kapolsek, reserse, dan jajaran Polri lainnya. Prinsip transparansi dan akuntabilitas ingin ditunjukkan Polri di hadapan publik. Jadi, dengan SOP yang ada, tidak ada keraguan lagi untuk melakukan tindakan tegas, termasuk tembak di tempat bagi pelaku anarki di lapangan secara tegas dan terukur.

Munculnya rasa waswas, curiga, atau fobia atas protap ini, seperti diungkapkan sejumlah pihak adalah sikap yang wajar. Masalahnya protap ini sangat dimungkinkan rentan menjadi alat legitimasi bagi oknum Polri yang sering terlibat dalam tindakan kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM dengan mengatasnamakan penegakan hukum.

Namun anggota Kompolnas Novel Ali menyambut baik terbitnya protap baru tersebut, sebagai langkah untuk mencegah dan mengeliminasi aksi massa yang cenderung berujung pada kekerasan. Meskipun diakui bahwa protap ini bisa kontraproduktif bila polisi kemudian menjadi arogan dan bertindak sewenang-wenang. (10)

— Herie Purwanto, Kepala Subbagian Hukum Polres Pekalongan Kota, magister ilmu hukum Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/10/18/127155/10/Protap-Tembak-Pelaku-Anarkisme

No comments:

Post a Comment