SELASA, 12 OKTOBER 2010 | 14:00 WIl
TEMPO Interaktif, Surabaya - Sejumlah aktivis pemuda, mahasiswa, dan buruh di Kota Surabaya, Jawa Timur, menentang prosedur tetap baru tentang tembak di tempat dalam unjuk rasa untuk mencegah anarkisme yang dikeluarkan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.
"Protap itu menunjukkan polisi sudah putus asa dan tidak punya solusi penanganan unjuk rasa," kata aktivis pemuda Surabaya, Taufik Monyong, Selasa (12/10). Harusnya, kata dia, polisi punya cara yang kreatif untuk menangani keamanan.
Ia menduga prosedur ini sengaja dikeluarkan seolah-olah ingin menciptakan kondisi negara dalam kekacauan. "Sebenarnya kita enggak butuh aturan itu untuk aman," ujar dia. Menurut dia, aturan tembak di tempat itu terlalu berlebihan.
"Polisi tidak perlu menangkal kekerasan dengan melakukan tindak kekerasan dan menangani kriminal dengan tindakan kriminal," tuturnya. Keberadaan prosedur ini, lanjut dia, tidak akan menyurutkan unjuk rasa di Kota Surabaya. "Siapa takut dengan protap di tempat?" ujar dia.
Aktivis Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia, Bambang Edi Sucipto, mengatakan prosedur tembak di tempat tidak akan membuat buruh takut berunjuk rasa. "Unjuk rasa dan mogok kerja adalah hak yang diatur undang-undang," ujar dia. Anarkisme yang terjadi, kata dia, justru kerap dipicu oknum polisi yang memprovokasi pengunjuk rasa.
Aktivis dari komunitas peduli pecandu narkoba, Ruddy Sinyo, mengatakan adanya prosedur ini berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan polisi. "Dikit-dikit nanti kami akan dituding biang keladi," ujar dia. Daripada ditembak, lanjut dia, lebih baik ditembak dengan menggunakan water canon.
Koordinator Badan Pekerja Komisi Anti Kekerasan dan Orang Hilang (KontraS) Surabaya, Andy Irfan, meminta prosedur tembak di tembak dicabut karena berpotensi besar melanggar hak asasi manusia.
Ia mengatakan polisi memang punya hak diskresi yaitu hak untuk menggunakan kekuatannya tanpa diatur undang-undang. "Cuma hak diskresi itu dibatasi hak asasi manusia," ujar dia.
Pendekatan keamanan dengan prosedur itu, lanjut dia, menjadi prioritas pendekatan keamanan. "Harusnya tetap mengedepankan dialog," ujar dia. Apalagi, prosedur itu muncul karena dilatarbelakangi unjuk rasa yang marak akhir-akhir ini. "Harusnya polisi lebih mengevaluasi diri kenapa terjadi unjuk rasa yang berakhir kekerasan," imbuhnya.
DINI MAWUNTYAS
http://www.tempointeraktif.com/hg/surabaya/2010/10/12/brk,20101012-284175,id.html
No comments:
Post a Comment