Jum'at, 22 Oktober 2010 , 14:13:00 WIB
Hal tersebut dikatakan Koordinator Kontras, Harry Azhar terkait penilaian bahwa mekanisme kontrol dan koordinasi institusi Polri di tidak berjalan.
Kontras melihat apa yang terjadi pada peristiwa kemarin itu sebenarnya tidak sesuai dengan prosedur pengamanan yang berlaku.
Harry mencontohkan, saat aksi unjuk rasa terjadi ada provost kepolisian yang bertugas mencegah anggotanya malah ikut menembaki mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa polisi belum profesional dalam menghadapi demontrasi termasuk dalam penggunakan senjata api. Padahal senjata api hanya boleh digunakan jika kepolisian terancam jiwanya dan tidak ada pilihan lain.
"Kalau peristawa di Jalan Diponegoro kemarin, saat polisi dilempari batu, masih sangat mungkin polisi menjauh dari jarak lempar dan membuat zona aman. Sehingga ada waktu bagi komandan untuk bernegoisasai dengan para mahasiswa," terang dia saat jumpa pers di kantor Kontras, Jalan Borobudur, Menteng, Jakarta Pusat, siang ini (Jumat, 22/10).
Penggunaaan prosedur tetap Kapolri 1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarkisme Massa juga dipandang tidak tepat bila diberlakukan terhadap aksi unjuk rasa mahasisawa UBK kemarin.
Sementara masih di tempat yang sama, Ktua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, Hendrik Sirait menambahkan, kasus penembakan mahasiswa pada 20 Oktober kemarin tidak cukup diselesaikan dengan pemberian sanksi secara administratif atau kode etik terhadap pelaku. Menurut dia, pelaku bisa dikenakan pidana atas perbuatannya itu.
"UU yang tepat untuk menjerat adalah pasal 360 KUHP soal kealpaan yang menyebabkan seseorang terluka dan itu dapat diterapkan dalam pengusutan," tukas Hendrik. [wid]
http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=7286
No comments:
Post a Comment