Wednesday 7 July 2010

Satpol PP Beli Senjata Api

Kembangkan Pendekatan Manusiawi dan Persuasif

Rabu, 7 Juli 2010 | 03:40 WIB

Jakarta, Kompas - Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta akan membeli sekitar 600 senjata api untuk memperlengkapi pasukannya yang bertugas di lapangan. Pembelian senjata itu terkait dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2010 yang mengizinkan penggunaan senjata api bagi satpol PP.

Kepala Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta Effendi Anas, Selasa (6/7) di Jakarta Pusat, mengatakan sedang menghitung kebutuhan senjata api bagi pasukannya. Dana pembelian senjata api itu dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2011.

Dalam peraturan mendagri itu, senjata api yang boleh dibeli adalah dari jenis senjata gas berpeluru karet, senjata yang berisi gas air mata, dan senjata kejut bertenaga listrik. Ketiga jenis senjata api itu boleh digunakan kepala dinas, kepala bagian, kepala seksi, komandan peleton, dan komandan regu.

”Kami membutuhkan senjata api itu untuk menunjang tugas di lapangan. Banyak dinamika lapangan yang sulit diprediksi sehingga kami memerlukan senjata tersebut untuk menjaga ketertiban Jakarta, bukan untuk membunuh warga,” kata Effendi.

Pengadaan senjata api

Pengadaan senjata api akan berlangsung secara bertahap, bergantung pada ketersediaan dana dan kesiapan personel. Sebanyak 600 senjata api itu bakal dapat terpenuhi dalam beberapa tahun ke depan. Saat ini, satpol PP memiliki 200 senjata api dan membutuhkan 600 pucuk senjata lagi untuk 800 pejabat.

Menurut Pasal 2 Bab II Permendagri Nomor 26 Tahun 2010 Butir 3, jenis senjata api bagi anggota satpol PP terdiri atas senjata peluru gas, semprotan gas, dan alat kejut listrik.

Pasal 3 Bab III Butir 1 menyebutkan, anggota satpol PP yang dapat menggunakan senjata api meliputi kepala satuan, kepala bagian/bidang, komandan seksi, komandan peleton, dan komandan regu.

Menurut Effendi, pihaknya menetapkan tiga syarat bagi anggotanya untuk menyandang senjata api. Ketiga syarat itu adalah memiliki kestabilan psikologis, keterampilan menggunakan senjata, dan jabatan yang sesuai.

Setiap pejabat yang diizinkan menyandang senjata api sesuai permendagri harus menjalani tes psikologi guna mengetahui kestabilan jiwa dan kemampuan penguasaan diri. Jika lolos, mereka wajib menjalani pelatihan untuk menggunakan senjata api tersebut.

Jika tidak lolos tes psikologi dan tidak terampil menggunakan senjata, pejabat di satpol PP tidak akan mendapat senjata api. Penerapan syarat yang ketat bertujuan agar senjata api tidak menjadi sarana pamer diri, yang akhirnya akan merusak citra satpol PP.

Jika semua kebutuhan senjata api terpenuhi, satpol PP akan menarik 60 senjata api berpeluru tajam yang dimiliki para pejabat satpol PP. Satpol PP tidak boleh lagi menggunakan senjata genggam berpeluru tajam sesuai dengan permendagri.

”Senjata api bagi satpol PP bukan alat gagah-gagahan, tetapi sarana untuk membela diri. Dalam kerusuhan Koja yang menewaskan tiga anggota satpol PP, tidak satu peluru pun yang ditembakkan karena kami tidak berniat membunuh warga,” kata Effendi.

Seorang anggota satpol PP yang menolak menyebutkan namanya mengatakan, senjata api diperlukan untuk membela diri jika diserang dengan senjata tajam oleh warga yang akan ditertibkan. Sudah banyak temannya yang menderita luka parah dan tewas akibat sabetan atau bacokan senjata tajam dari warga pada berbagai operasi penertiban, selain saat kerusuhan Koja di Jakarta Utara.

”Kami selalu berusaha tidak menggunakan kekerasan saat penertiban, tetapi warga kerap menyerang kami dengan kekerasan untuk melawan penertiban. Tanpa senjata api, kami sering menjadi korban kekerasan oleh warga karena tak dapat melawan, tetapi selalu satpol PP yang disalahkan oleh semua pihak,” kata anggota satpol PP itu.

Pendekatan manusiawi

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Triwisaksana menyatakan tidak setuju satpol PP dilengkapi dengan senjata api. Satpol PP seharusnya berlaku ramah terhadap warga. Senjata api justru identik dengan perilaku kekerasan.

”Satpol PP seharusnya mengembangkan pola pendekatan yang manusiawi dan mengutamakan dialog dengan warga. Pola persuasif lebih diperlukan dibandingkan senjata api untuk menakut-nakuti warga,” kata Triwisaksana.

Sebagai ketua Badan Legislatif Daerah DKI, Triwisaksana segera menyusun paket peraturan daerah (perda) tentang ketertiban yang mengatur tentang penegakan perda. Perda-perda itu antara lain perda tentang satpol PP dan perda tentang penyidik pegawai negeri sipil.

Aturan perilaku aparat terhadap warga saat menegakkan perda akan diatur dalam kedua perda itu. Pola kekerasan harus ditinggalkan agar kerusuhan, seperti yang terjadi di Koja, beberapa waktu lalu tak terulang lagi. (ECA/TIA)

Ada 5 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda
fero ibrahim @ Rabu, 7 Juli 2010 | 12:30 WIB
Manusiawi? Ngomong-ngomong lu pade ngerti kagak sih apa arti manusiawi itu, asal omong kayak SBY.
fero ibrahim @ Rabu, 7 Juli 2010 | 12:29 WIB
Pakai TANK sekalian nape?
Nofandi Kodyatmoko @ Rabu, 7 Juli 2010 | 12:28 WIB
Mungkin biar PT PINDAD laku kali produknya yah bisnis pemerintah pusat.......
sholichinwi nachrowi @ Rabu, 7 Juli 2010 | 12:27 WIB
Selamat buat Sat Pol PP, mudah-mudahan para pedagang kaki lima pada takut kalo tidak bayar uang upeti/uang keamanan/uang preman/uang haram/uang najis/ dll.
KIKI GUNAWAN @ Rabu, 7 Juli 2010 | 11:59 WIB
â??Kami membutuhkan senjata api itu untuk menunjang tugas di lapangan. Banyak dinamika lapangan yang sulit diprediksi sehingga kami memerlukan senjata tersebut untuk menjaga ketertiban Jakarta, bukan untuk membunuh warga,â?? >> Itukan teori saja, kenyataan di lapangan AROGANSI, EMOSI dan PIKIRAN LICIK yang bermain.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/07/07/03404134/Satpol.PP.Beli.Senjata.Api

No comments:

Post a Comment