Wednesday, 29 December 2010

Kepolisian Dominan Lakukan Kekerasan

Rabu, 29 Desember 2010
JAKARTA (Suara Karya): Institusi Kepolisian dinilai sebagai lembaga paling dominan dalam melakukan tindak kekerasan pada 2010. Selain menunjukkan watak kekerasan dan diskriminatif, aparat kepolisian juga dianggap masih menikmati lemahnya mekanisme korektif atas kejahatan yang mereka lakukan.

Demikian kesimpulan catatan akhir tahun yang dilaporkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) kepada wartawan di kantor Kontras, Selasa (28/12). "Aparat negara gagal meresapi prinsip-prinsip demokratis yang antikekerasan dalam praktik sehari-hari," ujar Koordinator Kontras Haris Azhar.

Meski demikian, Kontras mencatat, selama dua belas tahun terakhir Polri sudah membenahi internal mereka, baik di level paradigmatik maupun empirik. Namun upaya tersebut tidak berbanding lurus dengan perbaikan citra di mata publik.

Sepanjang 2010, Haris menyebutkan, sedikitnya terjadi 34 kekerasan yang dilakukan polisi. Kekerasan tersebut mayoritas berbentuk penyiksaan saat terjadi penyidikan perkara oleh polisi. Dari 34 kasus, delapan di antaranya mengakibatkan warga sipil meninggal karena ditembak.

"Misalnya peristiwa yang terjadi di Buol, dinama delapan warga tewas dan 26 luka berat. Kemudian di Papua (seorang tewas, dan dua tertembak). Warga Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, juga ikut jadi korban. Catatan Kontras, di wilayah-wilayah itu polisi berdiri di barisan pebisnis dalam konflik perebutan lahan antara pemilik modal dengan warga," ujar Haris menambahkan.

Kontras juga menyoroti seputar kegiatan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror. Menurut dia, sepanjang 2010, tercatat 24 orang tewas dalam operasi Densus di berbagai wilayah, seperti Jantho, Cawang, Cikampek, maupun Hamparan Perak. Ketidakjelasan prosedur operasi antiterorisme selama ini, katanya, berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.

"Langkah-langkah yang diambil Densus bersinggungan dengan lima hal. Pertama, operasi antiterorisme tidak mendahulukan upaya persuasif sehingga kerap memakan korban. Kedua, aparat sering memilih melumpuhkan korban dulu dibanding memverikasi identitasnya.

Ketiga, keputusan menembak korban dilakukan saat sasaran tidak dalam posisi melawan. Keempat, orang yang diduga terlibat terorisme tidak pernah mendapat surat penangkapan dan penahanan. Dan kelima, dalam beberapa kasus Densus sering salah tangkap," ujarnya.

Ia juga menilai, perlindungan bagi para pembela HAM, termasuk jurnalis dan aktivis antikorupsi, belum menjadi fokus utama penghormatan HAM oleh pemerintah dan aparat hukum di Indonesia. Terakhir, katanya, pada 17 Desember 2010, Alfrets Mirulewan, jurnalis Pelangi di Maluku Barat Daya diduga dibunuh.

Bentuk lain tindakan buruk terhadap pekerja HAM dan demokrasi, misalnya, krimininalisasi dan ketiadaan proses hukum dalam kasus Tama S Langkun (staf ICW) yang dipukuli kasusnya tidak menunjukkan titik terang meskipun polisi mengaku sudah bekerja, SBY sudah menyatakan dukungan atas penuntasan serta Kapolri terpilih Timur Pradopo menyatakan prioritas kasus ini. (Sugandi)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=269303

No comments:

Post a Comment