Padang Ekspres • Jumat, 12/08/2011 11:34 WIB • 62 klik
Sepekan terakhir, Sumatera Barat kembali diguncang oleh kabar tak sedap mengenai tindakan brutal yang dilakukan oleh oknum anggota kepolisian terhadap seorang tersangka tindak pidana penadahan secara membabi-buta. Dengan dalih tersangka melakukan perlawanan dan membahayakan, sang aparat tanpa ragu dan pikir panjang melepaskan timah panas yang digenggamnya ke tubuh si tersangka. Sangat mustahil alibi yang dikemukakan oleh aparat tersebut, mengingat saat melakukan penangkapan sang aparat tidaklah sendirian, tapi ditemani oleh rekannya, dan itu pun dilengkapi dengan senjata.
Tidaklah mungkin seorang warga sipil biasa yang sama sekali belum pernah terlibat kejahatan, berani melawan beberapa orang petugas yang datang dengan senjata lengkap. Sungguh sebuah alasan yang terlalu mengada-ada dan semakin mempertontonkan betapa tidak profesionalnya aparat yang satu ini ketika bertugas menangani kasus yang melibatkan rakyat biasa. Senjata yang dibeli dengan uang rakyat malah dipergunakan untuk mencelakakan rakyat itu sendiri.
Anehnya, sang pemimpin kepolisian yang semestinya memproses hukum kasus penembakan tersebut, justru melontarkan statement yang nadanya kental membela oknum tersebut, dengan dalih bahwa anggotanya telah bertindak sesuai prosedur tetap (protap) dalam melakukan penembakan tersebut. Publik tentunya bertanya protap mana yang memperbolehkan seorang anggota kepolisian menembak secara membabi buta terhadap seorang warga sipil yang tidak bersenjata? Kalaulah memang seperti itu protapnya, apakah tidak ada implementasi standar HAM bagi setiap anggota kepolisian yang bertugas sehingga tidak bertindak serabutan?
Perlu dipahami bahwa institusi kepolisian bukanlah pengadilan, sebab hanya pengadilanlah (baca: melalui hakim) yang berhak memutuskan nasib seseorang apakah bersalah atau tidak, apalagi sampai beraninya melakukan eksekusi di tempat terhadap orang yang belum jelas derajat kesalahannya. Sungguh perbuatan yang sangat keterlaluan dan memalukan, sebab tindakan sang aparat tersebut tidak hanya melanggar kode etik, tapi juga merupakan sebuah tindak pidana yang meresahkan masyarakat luas. Bagaimanapun juga, pelaku penembakan tersebut harus mendapatkan sanksi etik dan hukum yang tegas. Bila perlu tidak hanya dicopot, tapi juga dipecat dan dihukum sesuai ketentuan berlaku. Karena apabila dibiarkan, sangat dikhawatirkan akan membahayakan masyarakat lainnya dan akan memperburuk citra kepolisian sebagai salah satu pilar penegak hukum.
Penulis mahfum, kalau seandainya yang melakukan penembakan secara serabutan tersebut adalah seorang perampok atau penjahat jalanan yang memang tidak pernah dilatih khusus dan dibekali pendidikan mengenai cara penggunaan senjata, sehingga apabila yang ditembak kaki, wajarlah bila yang kena adalah kepala ataupun bagian vital lainnya. Tapi ini beda kondisinya, sebab sebagaimana diketahui tidak mudah masuk kepolisian. Selain harus mengikuti seleksi yang ketat saat masuk, setelah lulus juga harus mengikuti serangkaian pendidikan dan pelatihan, termasuk dalam hal penggunaan senjata api. Tidak hanya itu, setelah berdinas pun apabila ingin memegang senjata sang aparat tersebut juga harus mengikuti proses seleksi berupa tes psikologi guna mendapatkan izin penggunaan senjata dalam bertugas. Namun, kenapa peristiwa penembakan secara membabi-buta masih saja terjadi? Logikanya, kalau tembakan yang dilakukan adalah untuk mengamankan tersangka, kenapa bagian yang ditembak adalah badan yang merupakan bagian sangat vital, mengapa bukan bagian kaki? Apakah ini yang namanya profesional? Entahlah.
Mungkin masih teringat jelas dalam ingatan publik peristiwa penembakan Beny Irzal alias Aciak (terduga pembunuh anggota Brimob) yang dieksekusi mati di tempat kejadian oleh oknum anggota kepolisian di wilayah Limaumanis, Padang, dengan alasan yang sama, yakni tersangka melawan saat akan ditangkap oleh satu regu kepolisian bersenjata lengkap. Masih banyak kasus penembakan lainnya, yang umumnya si korban adalah orang-orang kecil yang baru dalam tahapan diduga melakukan tindak pidana. Akibat dari penembakan tersebut, tidak jarang si korban mengalami kelumpuhan, bahkan meninggal dunia.
Tentunya masyarakat bertanya-tanya kenapa aparat kepolisian hanya berani main tembak terhadap orang-orang kecil sekalipun belum terbukti bersalah? Kenapa adegan main tembak tersebut tidak pernah terjadi terhadap para penjahat berdasi? Jawaban semua pertanyaan tersebut tentu saja hanya bisa dijawab oleh korps berbaju cokelat tersebut. Penulis yakin, bahwa tidak ada satu pun anggota kepolisian di negeri ini yang tidak paham dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Sebuah asas dasar dalam penegakan hukum yang seyogianya tidak hanya dipahami, tapi juga diimplementasikan oleh setiap anggota kepolisian dalam melaksanakan tugasnya. (*)
No comments:
Post a Comment